3. Kakakku
Karyawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban
Setelah aku lulus dari MA (SMA), aku mohon restu dari ibuku untuk kuliah
di Bandung dan tinggal di kosan Kakak perempuan, yakni kakak nomor 4 dari
urutan kakak paling tua (nomor 1). Inilah kakak yang memberikan semangat baik
moril maupun materil agar aku bisa kuliah. Beliaulah yang membiaya kuliah dan hidup
sehari-hariku, padahal beliau hanya memiliki gaji sebesar karyawan biasa di
sebuah pabrik, tambah-tambah, saat itu juga sedang membiayai kuliah kakak nomor
6. Beliau tidak mengizinkan aku kuliah sambil kerja, karena khawatir tidak
fokus kuliah.
Memang, kalau aku lihat latar belakang prestasi sekolahnya dulu mulai
MTs hingga MA selalu meraih peringkat kelas 1 atau 2. Ini menjadi andalan ayah
dalam bidang ceramah/pidato, bahkan sempat mengikuti perlombaan pidato P4
(Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat kabupaten. Sebagai wakil
dari kampung telah membuat terperangah para dewan juri kota, namun Teteh
(panggilan kakak nomor 4) tidak memperoleh juara karena salah satunya tidak
menggunakan “assalamu’alaikum”, padahal dari kampung referensi yang dibaca ayah
memang tidak diperkenankan menggunakan salam tersebut dalam suatu pidato P4.
Namun demikian, tetap saja Teteh selagi masih duduk di bangku MA sering
mewakili ayah memberikan sambutan di forum-forum orangtua, seperti
penyuluhan-penyuluhan di sekolah, kepolisian, kesehatan, dan lain-lain. Memang
saat ini juga aku menilai Teteh adalah seorang yang punya rasa percaya diri tinggi
dan berbicara yang lantang. Ini merupakan salah satu warisan dari ayahku
tercinta yang dikenal ketika ceramah/pidato tidak suka textbook, padahal saat
itu para tokoh sekitar suka textbook. Semangat bicara ayah menggebu-gebu karena
menggandrungi pidato-pidato bung Karno, bahkan ketika masuk kelas pun biasanya
tidak ada siswa yang berdecit sedikitpun. Para siswa tidak kuasa memandang
harismanya, padahal ayah tidak suka marah-marah di kelas, bahkan anak-anak
banyak yang diajak olah raga bersamanya, bahkan belajar dan tidur di rumah ayah.
Fakta lain, ketajaman ayahku adalah mampu mematahkan beberapa kebijakan para pejabat
pemerintah sekitar, seperti camat, Danramil, bahkan ayah pernah juga membubarkan
rencana acara film yang dianggap terlalu bermuatan konten dewasa dengan
mencabut izinnya dari pemerintah sekitar seperti kepolisian dan desa. Aku pikir
cukup berani juga ayahku ini di saat itu, sebagai orang kampung lagi. Aku belum
tentu sanggup melakukannya.
Ayahku sangat mendukung kemampuan bicara Teteh. Akan tetapi, sayang
seribu kali sayang, ketika Teteh saatnya mengikuti kuliah, ayah tidak cukup
biaya, karena saat itu kakak nomor 2 sedang kuliah tingkat akhir, kakak nomor 3
dan 4 sama-sama mau masuk kuliah karena hanya terpaut usia 1 tahun dan
sekolahnya juga satu kelas. Urunglah kuliah Teteh, kemudian teteh memutuskan
untuk ke Bandung untuk kerja di Pabrik, meskipun harus menghadapi beberapa
penolakan dari ayah karena ayah masih tetap bersikeras untuk menguliahkannya suatu
saat nanti dan meminta Teteh menjadi guru honorer di MA yang ayah kepalai untuk
sementara. Namun karena pertimbangan gaji honorer tidak akan cukup, maka Teteh
memaksa kerja di Pabrik walaupun harus diiringi tangisan ayah.
Tak lama kemudian, ayah harus pensiun. Dan hanya beberapa saat setelah
membereskan administrasi pensiun, baru turun uang Taspen, ayah meninggal
terbawa hanyut oleh air bah di sungai tempat ayah bereksperimen ternak ikannya.
Di sini, terlihat juga jasa-jasa ayah, karena selama ayah belum ditemukan
jasadnya, masyarakat beberapa desa sekitar sibuk mencarinya padahal pihak
keluarga tidak mengeluarkan upah untuk mereka yang mencarinya. Para pejabat pemerintah
sekitar berdatangan ke rumah dan mengatur strategi untuk terus menemukan ayah,
termasuk mengirim informasi kepada desa yang menjadi hilir sungai tersebut. Hari
ketiga setelah kejadian, ayah ditemukan di sebuah desan hilir tersebut, yang rata-rata
ditempuh dengan berjalan kaki sekitar setengah hari (karena mobil hanya masuk
odong-odong [Zeep jelek, maaf ya pada pemiliknya…], sepeda motor juga bagi yang
kurang biasa sangat susah).
Kematian ayah membuat Teteh semakin memastikan tidak akan bisa kuliah.
Akhirnya Teteh memutuskan tidak kuliah dan bertekad menguliahkan kakakku nomor
6 dan aku, karena kakakku yang lain sudah berkeluarga dan bekerja, sedangkan adikku
masih kecil.
Dengan modal ilmu dari lulusan MA (SMA), Teteh memotivasi aku untuk
kuliah. Dari D1 aku melanjutkan ke D3. Setelah lulus D3, aku bekerja di
institusi pendidikan dengan harapan dapat melanjutkan ke S1. Di sini, mulai
terlihat jelas bahwa prinsip Teteh mendukung aku kuliah itu sangat kokoh,
sekuat batu karang di lautan kali, bahkan mungkin lebih dari itu. Aku kerja,
tapi tidak dituntut untuk ikut meringankan biaya sehari-hari Teteh, bahkan
beliau keluar dari pabrik dan memutuskan untuk berjualan kelontongan di pasar.
Meskipun pindah tempat, tetap saja kami berdua tinggal di rumah kontrakan.
Aku bekerja cukup mendatangkan upah yang lumayan. Aku tawarin teteh untuk
istirahat, tapi beliau tidak mau, malah bertekad akan terus bekerja hingga
Allah mengambil kekuatan untuk bekerja (Tekad yang mantap, berdikari dan tidak
pamrih). Beberapa saat aku bekerja, ternyata ada konflik dengan ketua yayasan,
sehingga terbuka peluang untuk berhenti kerja, walaupun bukan sebuah keharusan.
Aku diskusikan kepada Teteh, apabila aku terus bekerja maka kemungkinan
besar hidup kami berdua (aku dan Teteh) akan segera membaik, karena banyak uang
diperoleh dari kerjaan sampingan di luar kerjaan sekolah. Akan tetapi, kalau aku
berhenti kerja, aku harus memulai lagi dari langkah mundur, meskipun bukan dari
nol, karena aku mengajar juga di tempat lain, ya untuk makan sendiri aku
memang bisa dicukup-cukupkan. Saat ini juga aku terperanjat, karena Teteh
mendukung aku untuk berhenti kerja, alias keluar dari sekolah yang bermasalah
tersebut. Aku keluar, walaupun ketua yayasan yang juga berperan sebagai ayah
angkatku membujuk untuk tetap bekerja dan kita saling memaafkan atas konflik
yang sudah terjadi.
Aku mengajar di sebuah sekolah yang satunya lagi, mengajar privat dan
memperbaiki komputer selama 1,5 tahun. Sedikit ada bekal, aku berencana kuliah
S1. Ternyata rencana ini selain didukung oleh Teteh, juga didukung oleh kakak
nomor 6, bahkan kakak nomor 6 menyanggupi untuk membantu sebagian besar biaya
kuliah, karena jurusan yang diambil adalah jurusan komputer, padahal awalnya
aku berencana kuliah S1 PAI (Pendidikan Agama Islam) dengan pertimbangan
biayanya murah, bahkan akan diringankan oleh kampus karena aku mengajar juga
sebagai asisten dosen di kampus tersebut.
Satu tahun aku melanjutkan kuliah dari D3 ke S1. Setelah selesai aku
mengajar di beberapa perguruan tinggi kecil sambil kuliah akta kependidikan.
Satu tahun bekerja, karena kuliah akta hanya 6 bulan, jadi 6 bulannya full
kerja. Lumayan upah yang diperoleh bisa menopang hidup sehari-hari. Di
sela-sela perjuangan kerjaku, aku seringkali ngobrol dengan Teteh untuk
melanjutkan S2 Manajemen Pendidikan biaya sendiri, karena Teteh ditawarin
kuliah atau berhenti kerja tidak mau juga, bahkan semakin mendukung aku kuliah
pascasarjana. Aku mohon restu dari Ibuku dan meminta pendapat dari
kakak-kakakku, ternyata semua mendukung secara moril. Aku semakin yakin dan bersemangat.
Waktu itu Teteh sudah punya rumah sendiri, walaupun masih beralas tanah,
dinding adonan semen dan pasir kasar (belum beres) serta atap asbes. Tapi
herannya, Teteh tidak memperdulikan keadaan rumah seperti itu, beliau semakin
hari samakin mendukung aku kuliah S2. Alasannya: mungpung aku belum nikah dan
masih semangat belajar, katanya. Ketika awal tahun pendaftaran, brosur sudah di
tangan, tiba-tiba aku memperoleh informasi dari Internet bahwa ada beasiswa
untuk kuliah S2. Dengan tidak yakin, karena bermodalkan ijazah kampus kecil dan
swasta, aku mengirimkan syarat-syaratnya. Lama menanti pengumuman seleksi
administrasi, tidak kunjung datang juga. Aku memutuskan untuk mengurungkan
kuliah dan akan berkonsentrasi lagi ngajar di sana-sini. Jadwal ngajar sudah
diterima, aku iseng-iseng browsing di Internet, ternyata ada pengumuman hasil seleksi beasiswa yang
aku ajukan. Beberapa hari kemudian, datang juga SMS konfirmasi bahwa aku
benar-benar lulus beasiswa.
Aku terperanjat, di samping gembira, aku malu sama kampus termpat kerja,
bahkan aku juga jadi kasihan sama Teteh. Pikiranku berkata: kalau aku kuliah,
meskipun beasiswa, berarti yang ada adalah pengeluaran, jadi Teteh tidak akan ada
lagi bagian dari honor ngajarku meskipun sedikit. Aku diskusikan hal ini dengan
Teteh, ternyata beliau tidak pudar dukungannya agar aku kuliah. Bahkan aku
tegaskan: seandainya aku ngajar berarti rumah sedikit demi sedikit bisa diselesaikan,
tapi kalau aku kuliah yang ada paling nombok dari uang saku sekalipun.
Jawabannya tetap saja Teteh mendukung aku kuliah. Karena semangat
berkorban Teteh seperti inilah aku meneguhkan tekad agar tidak melupakan
jasa-jasanya terutama di masa depannya, mengingat Teteh hidup sendirian karena
cerai dengan suaminya, belum punya anak, dan uang habis dipakai kuliah aku. Aku
mengukuhkan dalam hati bahwa jiwa kuliah ini adalah jiwa teteh, aku hanya
mewakilinya saja karena belum sempat kuliah. Kesuksesan S2 –ku adalah
kesuksesan Teteh, maka hasilnya pun Teteh-lah yang harus menuainya. Ini bentuk
strategi aku agar tidak lupa diri, andaikata suatu saat ada rizki. Semoga Allah
memelihara tekadku ini. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada Teteh yang
sudah merelakan tinggal di rumah gubuk dan uang habis membantu kekurangan
kuliahku!
Apakah berhenti sampai S2? Ternyat tidak. Ketika aku iseng ngobrol ingin
melanjutkan ke S3, ternyata responnya positif, bahkan mampu meyakinkan keluarga
dan ibuku untuk ikut mendukungku kuliah S3. Sungguh luar biasa ciptaan-Mu ya
Allah. Terimakasih telah Engkau anugerahkan kakak sesoleh Teteh.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Semoga kenyamanan ini tidak membuat aku jauh
dari-Mu, ya Allah. Amiin!
Kakakku Cinta Bereksperimen; Perjalanan Mulus Kakakku
Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
4. Cita-Citaku
Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru
Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku
Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir
Termasuk Panjang Angan-Angan
8. Tidak
Bisa Matematik, Diberi Matematik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar