Senin, 07 Mei 2012

Kakakku Karyawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban


3. Kakakku Karyawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban
Setelah aku lulus dari MA (SMA), aku mohon restu dari ibuku untuk kuliah di Bandung dan tinggal di kosan Kakak perempuan, yakni kakak nomor 4 dari urutan kakak paling tua (nomor 1). Inilah kakak yang memberikan semangat baik moril maupun materil agar aku bisa kuliah. Beliaulah yang membiaya kuliah dan hidup sehari-hariku, padahal beliau hanya memiliki gaji sebesar karyawan biasa di sebuah pabrik, tambah-tambah, saat itu juga sedang membiayai kuliah kakak nomor 6. Beliau tidak mengizinkan aku kuliah sambil kerja, karena khawatir tidak fokus kuliah.
Memang, kalau aku lihat latar belakang prestasi sekolahnya dulu mulai MTs hingga MA selalu meraih peringkat kelas 1 atau 2. Ini menjadi andalan ayah dalam bidang ceramah/pidato, bahkan sempat mengikuti perlombaan pidato P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat kabupaten. Sebagai wakil dari kampung telah membuat terperangah para dewan juri kota, namun Teteh (panggilan kakak nomor 4) tidak memperoleh juara karena salah satunya tidak menggunakan “assalamu’alaikum”, padahal dari kampung referensi yang dibaca ayah memang tidak diperkenankan menggunakan salam tersebut dalam suatu pidato P4. Namun demikian, tetap saja Teteh selagi masih duduk di bangku MA sering mewakili ayah memberikan sambutan di forum-forum orangtua, seperti penyuluhan-penyuluhan di sekolah, kepolisian, kesehatan, dan lain-lain. Memang saat ini juga aku menilai Teteh adalah seorang yang punya rasa percaya diri tinggi dan berbicara yang lantang. Ini merupakan salah satu warisan dari ayahku tercinta yang dikenal ketika ceramah/pidato tidak suka textbook, padahal saat itu para tokoh sekitar suka textbook. Semangat bicara ayah menggebu-gebu karena menggandrungi pidato-pidato bung Karno, bahkan ketika masuk kelas pun biasanya tidak ada siswa yang berdecit sedikitpun. Para siswa tidak kuasa memandang harismanya, padahal ayah tidak suka marah-marah di kelas, bahkan anak-anak banyak yang diajak olah raga bersamanya, bahkan belajar dan tidur di rumah ayah. Fakta lain, ketajaman ayahku adalah mampu mematahkan beberapa kebijakan para pejabat pemerintah sekitar, seperti camat, Danramil, bahkan ayah pernah juga membubarkan rencana acara film yang dianggap terlalu bermuatan konten dewasa dengan mencabut izinnya dari pemerintah sekitar seperti kepolisian dan desa. Aku pikir cukup berani juga ayahku ini di saat itu, sebagai orang kampung lagi. Aku belum tentu sanggup melakukannya.
Ayahku sangat mendukung kemampuan bicara Teteh. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, ketika Teteh saatnya mengikuti kuliah, ayah tidak cukup biaya, karena saat itu kakak nomor 2 sedang kuliah tingkat akhir, kakak nomor 3 dan 4 sama-sama mau masuk kuliah karena hanya terpaut usia 1 tahun dan sekolahnya juga satu kelas. Urunglah kuliah Teteh, kemudian teteh memutuskan untuk ke Bandung untuk kerja di Pabrik, meskipun harus menghadapi beberapa penolakan dari ayah karena ayah masih tetap bersikeras untuk menguliahkannya suatu saat nanti dan meminta Teteh menjadi guru honorer di MA yang ayah kepalai untuk sementara. Namun karena pertimbangan gaji honorer tidak akan cukup, maka Teteh memaksa kerja di Pabrik walaupun harus diiringi tangisan ayah.
Tak lama kemudian, ayah harus pensiun. Dan hanya beberapa saat setelah membereskan administrasi pensiun, baru turun uang Taspen, ayah meninggal terbawa hanyut oleh air bah di sungai tempat ayah bereksperimen ternak ikannya. Di sini, terlihat juga jasa-jasa ayah, karena selama ayah belum ditemukan jasadnya, masyarakat beberapa desa sekitar sibuk mencarinya padahal pihak keluarga tidak mengeluarkan upah untuk mereka yang mencarinya. Para pejabat pemerintah sekitar berdatangan ke rumah dan mengatur strategi untuk terus menemukan ayah, termasuk mengirim informasi kepada desa yang menjadi hilir sungai tersebut. Hari ketiga setelah kejadian, ayah ditemukan di sebuah desan hilir tersebut, yang rata-rata ditempuh dengan berjalan kaki sekitar setengah hari (karena mobil hanya masuk odong-odong [Zeep jelek, maaf ya pada pemiliknya…], sepeda motor juga bagi yang kurang biasa sangat susah).
Kematian ayah membuat Teteh semakin memastikan tidak akan bisa kuliah. Akhirnya Teteh memutuskan tidak kuliah dan bertekad menguliahkan kakakku nomor 6 dan aku, karena kakakku yang lain sudah berkeluarga dan bekerja, sedangkan adikku masih kecil.
Dengan modal ilmu dari lulusan MA (SMA), Teteh memotivasi aku untuk kuliah. Dari D1 aku melanjutkan ke D3. Setelah lulus D3, aku bekerja di institusi pendidikan dengan harapan dapat melanjutkan ke S1. Di sini, mulai terlihat jelas bahwa prinsip Teteh mendukung aku kuliah itu sangat kokoh, sekuat batu karang di lautan kali, bahkan mungkin lebih dari itu. Aku kerja, tapi tidak dituntut untuk ikut meringankan biaya sehari-hari Teteh, bahkan beliau keluar dari pabrik dan memutuskan untuk berjualan kelontongan di pasar. Meskipun pindah tempat, tetap saja kami berdua tinggal di rumah kontrakan.
Aku bekerja cukup mendatangkan upah yang lumayan. Aku tawarin teteh untuk istirahat, tapi beliau tidak mau, malah bertekad akan terus bekerja hingga Allah mengambil kekuatan untuk bekerja (Tekad yang mantap, berdikari dan tidak pamrih). Beberapa saat aku bekerja, ternyata ada konflik dengan ketua yayasan, sehingga terbuka peluang untuk berhenti kerja, walaupun bukan sebuah keharusan.
Aku diskusikan kepada Teteh, apabila aku terus bekerja maka kemungkinan besar hidup kami berdua (aku dan Teteh) akan segera membaik, karena banyak uang diperoleh dari kerjaan sampingan di luar kerjaan sekolah. Akan tetapi, kalau aku berhenti kerja, aku harus memulai lagi dari langkah mundur, meskipun bukan dari nol, karena aku mengajar juga di tempat lain, ya untuk makan sendiri aku memang bisa dicukup-cukupkan. Saat ini juga aku terperanjat, karena Teteh mendukung aku untuk berhenti kerja, alias keluar dari sekolah yang bermasalah tersebut. Aku keluar, walaupun ketua yayasan yang juga berperan sebagai ayah angkatku membujuk untuk tetap bekerja dan kita saling memaafkan atas konflik yang sudah terjadi.
Aku mengajar di sebuah sekolah yang satunya lagi, mengajar privat dan memperbaiki komputer selama 1,5 tahun. Sedikit ada bekal, aku berencana kuliah S1. Ternyata rencana ini selain didukung oleh Teteh, juga didukung oleh kakak nomor 6, bahkan kakak nomor 6 menyanggupi untuk membantu sebagian besar biaya kuliah, karena jurusan yang diambil adalah jurusan komputer, padahal awalnya aku berencana kuliah S1 PAI (Pendidikan Agama Islam) dengan pertimbangan biayanya murah, bahkan akan diringankan oleh kampus karena aku mengajar juga sebagai asisten dosen di kampus tersebut.
Satu tahun aku melanjutkan kuliah dari D3 ke S1. Setelah selesai aku mengajar di beberapa perguruan tinggi kecil sambil kuliah akta kependidikan. Satu tahun bekerja, karena kuliah akta hanya 6 bulan, jadi 6 bulannya full kerja. Lumayan upah yang diperoleh bisa menopang hidup sehari-hari. Di sela-sela perjuangan kerjaku, aku seringkali ngobrol dengan Teteh untuk melanjutkan S2 Manajemen Pendidikan biaya sendiri, karena Teteh ditawarin kuliah atau berhenti kerja tidak mau juga, bahkan semakin mendukung aku kuliah pascasarjana. Aku mohon restu dari Ibuku dan meminta pendapat dari kakak-kakakku, ternyata semua mendukung secara moril. Aku semakin yakin dan bersemangat.
Waktu itu Teteh sudah punya rumah sendiri, walaupun masih beralas tanah, dinding adonan semen dan pasir kasar (belum beres) serta atap asbes. Tapi herannya, Teteh tidak memperdulikan keadaan rumah seperti itu, beliau semakin hari samakin mendukung aku kuliah S2. Alasannya: mungpung aku belum nikah dan masih semangat belajar, katanya. Ketika awal tahun pendaftaran, brosur sudah di tangan, tiba-tiba aku memperoleh informasi dari Internet bahwa ada beasiswa untuk kuliah S2. Dengan tidak yakin, karena bermodalkan ijazah kampus kecil dan swasta, aku mengirimkan syarat-syaratnya. Lama menanti pengumuman seleksi administrasi, tidak kunjung datang juga. Aku memutuskan untuk mengurungkan kuliah dan akan berkonsentrasi lagi ngajar di sana-sini. Jadwal ngajar sudah diterima, aku iseng-iseng browsing di Internet, ternyata  ada pengumuman hasil seleksi beasiswa yang aku ajukan. Beberapa hari kemudian, datang juga SMS konfirmasi bahwa aku benar-benar lulus beasiswa.
Aku terperanjat, di samping gembira, aku malu sama kampus termpat kerja, bahkan aku juga jadi kasihan sama Teteh. Pikiranku berkata: kalau aku kuliah, meskipun beasiswa, berarti yang ada adalah pengeluaran, jadi Teteh tidak akan ada lagi bagian dari honor ngajarku meskipun sedikit. Aku diskusikan hal ini dengan Teteh, ternyata beliau tidak pudar dukungannya agar aku kuliah. Bahkan aku tegaskan: seandainya aku ngajar berarti rumah sedikit demi sedikit bisa diselesaikan, tapi kalau aku kuliah yang ada paling nombok dari uang saku sekalipun.
Jawabannya tetap saja Teteh mendukung aku kuliah. Karena semangat berkorban Teteh seperti inilah aku meneguhkan tekad agar tidak melupakan jasa-jasanya terutama di masa depannya, mengingat Teteh hidup sendirian karena cerai dengan suaminya, belum punya anak, dan uang habis dipakai kuliah aku. Aku mengukuhkan dalam hati bahwa jiwa kuliah ini adalah jiwa teteh, aku hanya mewakilinya saja karena belum sempat kuliah. Kesuksesan S2 –ku adalah kesuksesan Teteh, maka hasilnya pun Teteh-lah yang harus menuainya. Ini bentuk strategi aku agar tidak lupa diri, andaikata suatu saat ada rizki. Semoga Allah memelihara tekadku ini. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada Teteh yang sudah merelakan tinggal di rumah gubuk dan uang habis membantu kekurangan kuliahku!
Apakah berhenti sampai S2? Ternyat tidak. Ketika aku iseng ngobrol ingin melanjutkan ke S3, ternyata responnya positif, bahkan mampu meyakinkan keluarga dan ibuku untuk ikut mendukungku kuliah S3. Sungguh luar biasa ciptaan-Mu ya Allah. Terimakasih telah Engkau anugerahkan kakak sesoleh Teteh. Alhamdulillahirabbil’alamin. Semoga kenyamanan ini tidak membuat aku jauh dari-Mu, ya Allah. Amiin!
 

Kakakku Cinta Bereksperimen; Perjalanan Mulus Kakakku


Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
4. Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir Termasuk Panjang Angan-Angan
8. Tidak Bisa Matematik, Diberi Matematik

Tidak ada komentar: