Minggu, 06 Mei 2012

Ibuku Tidak Sekolah, Tapi Bijak


2. Ibuku Tidak Sekolah, Tapi Bijak
Walaupun ibuku tidak sempat menyelesaikan pendidikannya jenjang SD, beliau pernah mengenyam pendidikan hingga kelas IV dengan predikat ranking kelas ke-dua. Inilah mungkin salah satu benih kecerdasan yang Allah amanahkan pada ibuku. Ibuku dengan ilmu dasarnya sejenjang kelas IV, beliau mampu mengikuti gaya kehidupan ayahku yang cukup cerdas saat itu.
Ibuku sangat menyayangi anak-anaknya. Aku sangat merasakannya setelah menengok masa kecilku. Beliau mau berkorban memberikan ASI (Air Susu Ibu)-nya padaku hingga besar. Aku berhenti meminum ASI setelah masuk SD. Kini, tidak terbayang seorang ibu di usia sekitar 25 tahun dengan kasih sayangnya memberikan air susunya kepadaku. Sungguh aku berhutang budi pada beliau atas satu kasih sayang itu, apalagi kalau harus menghitung kasih sayang yang lainnya, sungguh tak ternilai jumlahnya oh ibuku sayang. Di usia muda, tambah lagi, kata orang-orang yang bercerita sekarang, ibuku di masa muda termasuk cantik. Tapi kecantikannya tidak mengurangi kasih sayang kepada anaknya. Sungguh mulia ibu sayang, semoga engkau menjadi bidadari surga di akhirat kelak. Amiin!
Setelah ayahku meninggal, ibu dengan pensiunan janda yang tidak besar jumlahnya, beliau menyekolahkan satu orang kakakku di MTs (SMP) dan aku di SD, juga membiayai adikku yang masih usia 2,5 tahunan. Sedangkan kakak-kakakku yang lain sudah bekerja dan berbeda rumah, bahkan di luar kota, meskipun tidak semua kakak memperoleh pekerjaan yang selevel dengan latar belakang pekerjaan ayah ketika masih hidup.
Ketika aku menginjak kelas 2 MA (SMA), aku mulai memiliki perilaku aneh dalam belajar. Yang sangat dominan dalam benak saya, penyebabnya adalah karena saya tidak mampu memahami mata pelajaran matematika. Sebenarnya ketidak-mampuan di bidang hitung-menghitung ini sudah aku rasakan sejak duduk di bangku kelas 2 MTs. Akan tetapi, karena terlalu percaya diri bahwa kelak aku akan bisa menguasainya, maka aku masih tenang-tenang saja.
Mungkin kelas 2 MA inilah titik puncak dan titik awal penilaian ketidak-mampuanku. Meskipun dalam satu kelas hanya satu orang teman saya yang menguasai pelajaran eksak itu, yang mana banyak teman-teman menganggap ketidak-mampuannya hal biasa, tapi aku tidak demikian. Pernah suatu hari, diadakan ulangan harian Kimia, aku tidak bisa menjawabnya dan aku bilang sama guruku sambil menyerahkan lagi kertas ulangan yang hanya berisi soal saja. Guru kimiaku bertanya: Kenapa tidak kamu jawab? Aku jawab: Saya tidak mengerti pak dan aku tidak mau mengerjakannya seolah-olah mampu dengan cara mencontek seperti yang dilakukan beberapa temanku. Beberapa hari kemudian, guru kimiaku memanggilku di depan kantor dan bicara padaku: “Kamu lebih baik jadi guru di kampung, daripada raja di kota.” (Maaf kalau saya salah) Tapi kira-kira maksudnya: lebih baik saya kuasai materi IPS daripada harus memaksakan diri menguasai materi IPA (Kebetulan saat itu, menjelang penjurusan di kelas III). Nasihat dari guru Kimiaku ini saya jadikan motivasi dan solusi, meskipun tetap saja di hati, masih tertanam keinginan untuk memahami Matematika.
Pernah saya bilang tentang Matematik ini, seandainya temanku memperoleh nilai Matematik 10, aku sudah merasa bersyukur memperoleh nilai 6 juga, tapi harus benar-benar ngerti cara mengerjakannya (bukan nilai “kasih sayang” guru saja). Yang terjadi, aku hampir sama sekali tidak paham. Ini kadang-kadang jadi menyalahkan guruku juga.
Dalam kesulitan itu, muncullah ide-ide aneh dalam benakku. Aku harus mempelajari setiap tugas Matematika. Dulu, aku tidak menerima petunjuk bagaimana cara mempelajarinya, bagaimana cara memperoleh referensinya. Pokoknya yang ada di kepala hanya terus mengotak-atik soal Matematik berdasarkan buku catatan. Saking pusingnya, mungkin, aku seringkali terlambat sekolah karena harus mengerjakan Soal Matematika yang tak kunjung ada hasilnya. Belajar kelompok sama teman tidak begitu terpikir waktu itu. Aku sering dipanggil dan ditanyai oleh guru bahasa Indonesiaku: “Nak, kemana dulu kamu? Kenapa terlambat?” Pertanyaan ini agak sering dilontarkan padaku, mungkin di samping aku terlambat, beliau heran karena sebenarnya aku termasuk ranking pertama dan rajin di kelas I MA (kelas X SMA), bahkan saat itu juga aku termasuk aktif berorganisasi karena memegang jabatan sebagai ketua OSIS dan PMR sekolah (tapi namanya juga organisasi di kampung, tentunya tidak sesibuk di kota). Pertanyaan itu aku jawab: “Saya mengerjakan dulu matematika, dan kalau ibu mau mengecek kebenarannya silahkan saja hubungi ibuku.” Aku bilang demikian, karena ketika aku di rumah sering bilang ke ibuku bahwa aku akan berangkat ke sekolah sangat terlambat karena belajar Matematika dulu. Ibuku tidak bisa berbuat apa-apa, karena segudang alasan aku sodorkan kepada beliau. Dalam keadaan ini ibuku tidak marah, tapi mengiyakan dengan rasa sayang dan kehangatan terasa di hatiku. Aku merasa nyaman saat itu.
Karena keterlambatanku, pernah aku diberi sanksi oleh guru bahasa Indonesia berupa tidak diizinkan masuk pelajarannya dan aku harus masuk perpustakaan sederhana sekolah. Aku tidak berontak, karena memang sebelumnya sudah perjanjian dan aku yakin bahwa aku akan bisa memahami materi bahasa Indonesia tanpa masuk kelas (Sombong kali ya….). Aku menikmati saja sanksi tersebut, tak mau berubah kebiasaan terlambat masuk. Akhirnya guru bahasa Indonesiaku bosan mungkin, sanksi tidak diberlakukan lagi, beliau bilang dalam bahasa Sunda: “Jang, piraku rek jadi awi bingkengna di keluarga almarhum teh?” (Nak, masa kamu mau jadi bambu yang bengkok di keluarga ayahmu?) Beliau bilang demikian, mungkin karena beliau tahu bahwa ayahku selagi hidup menjadi kepada sekolah tempat aku belajar dan mengangkat beliau sebagai guru bahasa Indonesia. Beliau juga tahu bahwa kakak-kakakku cerdas-cerdas, termasuk pada kakak keduaku beliau pernah belajar bahasa Inggris. Aku lihat, beliau heran dan kecewa melihat aku seperti ini.
Bertambah hari, bertambah keheranan dari guru-guru. Perilaku anehku semakin menjadi-jadi, hingga pernah dalam satu semester aku tidak masuk sekolah sebanyak 8 hari. Selama delapan hari ini aku bilang sama guru-guruku: “Aku gak sekolah, karena aku belajar Matematik sendirian di rumah dan ibuku tahu tentang ini.” Akhirnya, di akhir semester, aku dititipi surat untuk ibuku yang isinya sudah guru kasih tahu padaku bahwa orang tuaku harus ke sekolah membicarakan kemalasan aku masuk sekolah. Akhirnya, ibuku ikut rapat orangtua, setelah selesai ibu menangis dengan bahasa: “Nak, nilai-nilai raportmu masih bagus, apalagi kalau kamu rajin sekolah.” Aku tersenyum, tak bisa berkata apa-apa. Semester itu adalah semester ganjil di kelas 2. Setelah kejadian itu, kakakku yang nomor 1 datang ke sekolah tanpa bilang-bilang dulu padaku, tahu-tahu tiba-tiba aku dipanggil guru ke kantor dan ternyata di sana sudah ada kakakku. Ternyata beliau sudah memintakan izin tidak sekolah untuk beberapa hari untuk membawaku ke Bandung (Izin seperti ini tidak ada dalam kamusku sebelumnya, bahkan saat kedua kakak perempuanku nikahpun aku tetap sekolah). Kakak bilang, aku mau dibawa ke kakak nomor 2 di Bandung untuk membicarakan perilaku anehku agar segera mendapatkan solusinya, bahkan ada rencana juga akan dibawa ke psikiater atau psikolog, tapi sedikit terkendala biaya, makanya aku harus berdiskusi dulu dengan kakak nomor dua.
Setiba di Bandung, ternyata kakak nomor 2 menyambut hangat, setelah menangisiku dan meminta maaf padaku karena beliau tidak membimbingku menggantikan peran ayah yang sudah meninggal, beliau bilang ke kakak nomor 1 bahwa ini masalah gampang, udah di Bandung dulu aja untuk beberapa hari mah sama aa (Mas), gak usah ke psikolog segala. Kata kakak nomor 2.
Kakak nomor 2 tidak merasa heran sedikitpun, mungkin karena beliau sudah banyak melahap berbagai buku, beliau bekerja sebagai pustakawan sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Bandung. Bahkan beliau dikenal cukup “jenius” oleh teman-temannya (walaupun aku belum punya bukti hasil tes IQ-nya). Beliau tamatan Strata Satu (S1) bahasa Arab di PTN Islam Bandung dan beasiswa S1 Perpustakaan di PTN Jakarta. Aku menumpahkan unek-unek dan pemikiran aneh termasuk kekritisan pemikiranku tentang agama. Beliau dapat menerima semua pemikiranku bahwa itu bukanlah hal menyimpang. Adapun kendala saat ini, karena SDM guru-guru di kampung belum bisa mengakomodasi pemikiranku yang liar ini.
Suatu hari aku dibawa jalan-jalan ke ITB sambil beli buku pelajaran Matematika di pasar Ujung Berung. Ini cukup membuat otakku segar, karena ini pertama kali aku jalan-jalan di Bandung, karena selain tidak pernah jalan-jalan ke kota, di kampung pun aku termasuk kurang pergaulan (Kuper). Di sepanjang jalan aku disuguhi obrolan motivatif kakakku, aku didukung masuk ITB, tapi kakakku mengingatkan bahwa aku tidak perlu menguasai Matematik di kampung, asal lulus saja, nanti setelah lulus, aku akan diberi kesempatan bimbingan belajar di Bandung. Hanya satu syaratnya buat kuliah: aku harus mahir bahasa Inggris dengan alasan di kampungku ada beberapa guru bahasa Inggris, termasuk guru bahasa Inggris andalan kakak di waktu MTs, kata kakakku. Aku setuju, dan aku yakin akan masuk ITB. Kakakku menyarankan masuk jurusan mineral/pertambangan, biar banyak uang, katanya (matre kali….).
Setelah beberapa hari di Bandung aku memutuskan untuk pulang, karena khawatir pelajaran sekolah sangat tertinggal. Sepulang dari Bandung, aku sempat dititipkan oleh kakak nomor 1 untuk belajar tambahan ke guru Matematik (Les Privat), tapi ini hanya berlangsung beberapa pertemuan, karena aku menilai guru Matematika tidak bisa menerimaku, mungkin khawatir ada unsur pilih kasih di antara teman-teman yang lain (tapi aku tidak tahu alasan sebenarnya, mungkin juga beliau terlalu sibuk). Walaupun demikian, mentalku sudah mulai stabil, sekolahku normal, tidak suka bolos lagi. Aku sangat konsentrasi pada bahasa Inggris, sehingga setiap guru bahasa Inggris masuk kelas, sudah dibuat ketagihan nanya tentang materi pelajaran yang sedang dibahas padaku setiap mengajarnya. Aku semakin semangat dan semakin yakin akan bisa melalui kehidupan saat itu hingga kuliah.
Kelas 2 berakhir, kini saatnya masuk kelas 3. Ternyata, di sekolahku hanya ada kelas IPS. Aku sempat mengusulkan kelas bahasa, tapi tidak terkabulkan karena kurang peminat. Akhirnya aku harus menikmati kelas IPS. Padahal, walaupun aku tidak bisa eksak, aku juga tidak suka IPS, karena aku lebih suka bahasa. Di tengah-tengah perjuangan belajar di kelas IPS, kakak nomor 6 pulang berlibur dari kuliahnya di Bandung. Beliau bercerita juga padaku bahwa aku lebih baik merencanakan kuliah ngambil jurusan politik atau hubungan internasional atau manajemen dakwah atau bahasa Inggris. Kakakku nomor 6 ini sedang kuliah jurusan pendidikan bahasa Inggris tempat kakak nomor 2 bekerja sebagai pustakawannya.
Aku setuju juga pada saran kakak nomor 6, karena lulusan IPS tidak mungkin masuk ITB. Pada dasarnya keinginanku adalah masuk jurusan bahasa Arab atau bahasa Inggris. Tapi bahasa Arab kurang mendapat dukungan, karena dinilai akan kesulitan dalam menopang ekonomi setelah lulusnya (susah kerja). Di samping belajar bahasa Inggris secara otodidak, aku terus menambah fokus kajian yakni Tata Negara. Walaupun guru Tata Negaraku kurang mendukung (mungkin karena usianya sudah mendekati pensiun, hingga gairah mengajarnya kurang menurut penilaian subyektifku), aku terus menjajal ilmu guruku yang satu ini, hingga guruku seringkali menyarankan untuk menggalinya di bangku perguruan tinggi. Aku puas dan semakin yakin bahwa aku akan masuk perpolitikan.
Sampailah pada kelulusan, kemudian aku ke Bandung untuk daftar SPMB (UMPTN). Aku ikut daftar jurusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional di UNPAD. Eh, aku tidak lulus. Aku sempat nangis, dan percaya bahwa aku ini bodoh serta tidak mungkin kuliah. Tapi kakak nomor 4 dan 6 meyakinkan bahwa aku masih bisa kuliah.
Setelah gagal masuk UNPAD, aku disarankan kakak nomor 2 untuk kerja di fotocopy dengan bujukan bahwa aku bisa bekerja sambil membaca setumpuk buku yang mahasiswa fotocopy di sana. Kebetulan fotocopy tersebut letaknya di sekitar kampus. Aku setuju, setelah maghrib aku tiba di tempat kerja dan akhirnya kakak nomor 2, aku, dan pemilik fotocopy (teman kakak nomor 2) sepakat bahwa aku kerja di sana jadi tukang fotocopy. Aku dilatih cara memfotocopy dan menjilid buku. Setelah Isya, baru saja aku beres shalat, tiba-tiba datang kakak nomor 6 dan meminta izin kepada pemilik fotocopy untuk membawaku ke perpustakaan tempat kakak nomor 2 bekerja (kebetulan kakak nomor 2 suka tidur di ruang kerjanya). Kami bertiga bertemu, ternyata kakak nomor 6 mau membahas tentang pekerjaanku itu. Kakak nomor 6 tidak setuju dengan pekerjaan jadi tukang fotocopy. Beliau berpendapat bahwa kemungkinan besar aku tidak akan sempat belajar karena kesibukan sehari-hari fotocopy di sekitar kampus itu sangat padat, yang ada malah aku kelelahan.
Kakak nomor 6 ternyata sudah melobi kakak nomor 4 yang sudah menyatakan kesiapannya membiayai kuliah atau bimbingan belajar untukku (Memang dari awal juga kakak nomor 4 -lah yang menyanggupi membiayai kuliahku, walaupun saat itu juga beliau sedang membiayai kuliah kakak nomor 6, padahal beliau hanya seorang karyawan pabrik biasa). Kakak nomor 6 mempertanyakan langkah selanjutnya buat aku kepada kakak nomor 2. Kakak nomor 2, malah berkali-kali bertanya padaku yang pada saat itu aku bingung karena kakak nomor 2 kurang mendukung kuliah dengan alasan harus cari duit dulu, kemudian kuliah, agar setelah lulus kuliah kelak tidak susah kerja. Aku tidak cepat menjawab. Eh, kakak nomor dua malah bertanya padaku: Kamu mau kuliah enggak, dik? Dari kemarin-kemarin, sebenarnya aku sudah jengkel karena melihat kegagalanku menempuh jalur kuliah, aku jadi sangat marah tapi tak kuasa menumpahkannya, sambil sedikit menangis dan nafas sedikit sesak menahan emosi aku menjawab bahwa aku mau kuliah.
Kakak nomor 2 mungkin agak kesal dan malu kepada temannya yang sudah dititipi aku kerja jadi tukang fotocopy tadi. Saat itu keputusannya, aku tidak jadi kerja dan pamitan kepada pemilik fotocopy. Besok harinya aku diantar sama kakak nomor 2. Di angkot beliau berkata bahwa beliau tidak mendukung dan tidak mau tahu nasib kuliahku. Semuanya beliau serahkan padaku, kakak nomor 4 dan nomor 6. Aku dan kakak nomor 4 diam saja, tapi kami berdua tetap saja minta maaf karena tidak menuruti nasihat kakak nomor 2, dan aku tetap minta doa.
Beberapa hari kemudian, kakak nomor 6 datang dan mendiskusikan rencana selanjutnya kuliahku. Awalnya mau bimbingan belajar (BIMBEL), tapi dengan pertimbangan khawatir biaya dari kakak nomor 4 tidak cukup, maka kakak nomor 4 dan 6 memutuskan aku harus kuliah Manajemen Informatika (Komputer) jenjang Diploma Satu (D1) di AMIK terdekat. Salah satu pertimbangannya, sendainya setelah lulus satu tahun tidak punya biaya untuk melanjutkan kuliah (yang rencananya daftar lagi jurusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional), aku bisa kerja dengan ijazah D1.
Setelah itu aku tercatat menjadi mahasiswa Manajemen Informatika dengan modal belajar komputer di rental hingga jam 10, bahkan 12 malam, karena aku tidak punya komputer. Mulai saat itu aku hanya bisa pulang setahun sekali saat Idul Fitri. Hal ini sudah aku bicarakakan dengan ibuku. Di sinilah aku menemukan kembali ibuku itu seorang yang sangat bijak. Beliau dapat memaklumi aku dan mengizinkanku untuk kuliah dan tinggal di rumah kontrakan bersama kakak nomor 4, walaupun hanya satu kali berjumpa beliau dalam satu tahun. Saat itu, keluarga kami masih kesulitan memiliki Handphone, sehingga SMS pun belum bisa dilakukan. Komunikasi dengan ibu benar-benar hanya satu kali setahun, kecuali kalau ibu datang berlibur bersama adikku di saat liburan kenaikan kelas.


3. KakakkuKaryawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban

Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
4. Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir Termasuk Panjang Angan-Angan
8. Tidak Bisa Matematik, Diberi Matematik

Tidak ada komentar: