2. Ibuku
Tidak Sekolah, Tapi Bijak
Walaupun ibuku tidak sempat menyelesaikan pendidikannya jenjang SD,
beliau pernah mengenyam pendidikan hingga kelas IV dengan predikat ranking
kelas ke-dua. Inilah mungkin salah satu benih kecerdasan yang Allah amanahkan
pada ibuku. Ibuku dengan ilmu dasarnya sejenjang kelas IV, beliau mampu
mengikuti gaya kehidupan ayahku yang cukup cerdas saat itu.
Ibuku sangat menyayangi anak-anaknya. Aku sangat merasakannya setelah
menengok masa kecilku. Beliau mau berkorban memberikan ASI (Air Susu Ibu)-nya
padaku hingga besar. Aku berhenti meminum ASI setelah masuk SD. Kini, tidak
terbayang seorang ibu di usia sekitar 25 tahun dengan kasih sayangnya
memberikan air susunya kepadaku. Sungguh aku berhutang budi pada beliau atas
satu kasih sayang itu, apalagi kalau harus menghitung kasih sayang yang lainnya,
sungguh tak ternilai jumlahnya oh ibuku sayang. Di usia muda, tambah
lagi, kata orang-orang yang bercerita sekarang, ibuku di masa muda termasuk
cantik. Tapi kecantikannya tidak mengurangi kasih sayang kepada anaknya.
Sungguh mulia ibu sayang, semoga engkau menjadi bidadari surga di akhirat
kelak. Amiin!
Setelah ayahku meninggal, ibu dengan pensiunan janda yang tidak besar
jumlahnya, beliau menyekolahkan satu orang kakakku di MTs (SMP) dan aku di SD,
juga membiayai adikku yang masih usia 2,5 tahunan. Sedangkan kakak-kakakku yang
lain sudah bekerja dan berbeda rumah, bahkan di luar kota, meskipun tidak semua
kakak memperoleh pekerjaan yang selevel dengan latar belakang pekerjaan ayah
ketika masih hidup.
Ketika aku menginjak kelas 2 MA (SMA), aku mulai memiliki perilaku aneh
dalam belajar. Yang sangat dominan dalam benak saya, penyebabnya adalah karena
saya tidak mampu memahami mata pelajaran matematika. Sebenarnya ketidak-mampuan
di bidang hitung-menghitung ini sudah aku rasakan sejak duduk di bangku kelas 2
MTs. Akan tetapi, karena terlalu percaya diri bahwa kelak aku akan bisa
menguasainya, maka aku masih tenang-tenang saja.
Mungkin kelas 2 MA inilah titik puncak dan titik awal penilaian ketidak-mampuanku.
Meskipun dalam satu kelas hanya satu orang teman saya yang menguasai pelajaran
eksak itu, yang mana banyak teman-teman menganggap ketidak-mampuannya hal
biasa, tapi aku tidak demikian. Pernah suatu hari, diadakan ulangan harian
Kimia, aku tidak bisa menjawabnya dan aku bilang sama guruku sambil menyerahkan
lagi kertas ulangan yang hanya berisi soal saja. Guru kimiaku bertanya: Kenapa
tidak kamu jawab? Aku jawab: Saya tidak mengerti pak dan aku tidak mau
mengerjakannya seolah-olah mampu dengan cara mencontek seperti yang dilakukan
beberapa temanku. Beberapa hari kemudian, guru kimiaku memanggilku di depan
kantor dan bicara padaku: “Kamu lebih baik jadi guru di kampung, daripada raja
di kota.” (Maaf kalau saya salah) Tapi kira-kira maksudnya: lebih baik saya
kuasai materi IPS daripada harus memaksakan diri menguasai materi IPA
(Kebetulan saat itu, menjelang penjurusan di kelas III). Nasihat dari guru
Kimiaku ini saya jadikan motivasi dan solusi, meskipun tetap saja di hati,
masih tertanam keinginan untuk memahami Matematika.
Pernah saya bilang tentang Matematik ini, seandainya temanku memperoleh
nilai Matematik 10, aku sudah merasa bersyukur memperoleh nilai 6 juga, tapi
harus benar-benar ngerti cara mengerjakannya (bukan nilai “kasih sayang” guru
saja). Yang terjadi, aku hampir sama sekali tidak paham. Ini kadang-kadang jadi
menyalahkan guruku juga.
Dalam kesulitan itu, muncullah ide-ide aneh dalam benakku. Aku harus
mempelajari setiap tugas Matematika. Dulu, aku tidak menerima petunjuk
bagaimana cara mempelajarinya, bagaimana cara memperoleh referensinya. Pokoknya
yang ada di kepala hanya terus mengotak-atik soal Matematik berdasarkan buku
catatan. Saking pusingnya, mungkin, aku seringkali terlambat sekolah karena
harus mengerjakan Soal Matematika yang tak kunjung ada hasilnya. Belajar
kelompok sama teman tidak begitu terpikir waktu itu. Aku sering dipanggil dan
ditanyai oleh guru bahasa Indonesiaku: “Nak, kemana dulu kamu? Kenapa
terlambat?” Pertanyaan ini agak sering dilontarkan padaku, mungkin di samping
aku terlambat, beliau heran karena sebenarnya aku termasuk ranking pertama dan
rajin di kelas I MA (kelas X SMA), bahkan saat itu juga aku termasuk aktif
berorganisasi karena memegang jabatan sebagai ketua OSIS dan PMR sekolah (tapi
namanya juga organisasi di kampung, tentunya tidak sesibuk di kota). Pertanyaan
itu aku jawab: “Saya mengerjakan dulu matematika, dan kalau ibu mau mengecek
kebenarannya silahkan saja hubungi ibuku.” Aku bilang demikian, karena ketika
aku di rumah sering bilang ke ibuku bahwa aku akan berangkat ke sekolah sangat
terlambat karena belajar Matematika dulu. Ibuku tidak bisa berbuat apa-apa,
karena segudang alasan aku sodorkan kepada beliau. Dalam keadaan ini ibuku
tidak marah, tapi mengiyakan dengan rasa sayang dan kehangatan terasa di
hatiku. Aku merasa nyaman saat itu.
Karena keterlambatanku, pernah aku diberi sanksi oleh guru bahasa
Indonesia berupa tidak diizinkan masuk pelajarannya dan aku harus masuk
perpustakaan sederhana sekolah. Aku tidak berontak, karena memang sebelumnya
sudah perjanjian dan aku yakin bahwa aku akan bisa memahami materi bahasa
Indonesia tanpa masuk kelas (Sombong kali ya….). Aku menikmati saja sanksi tersebut,
tak mau berubah kebiasaan terlambat masuk. Akhirnya guru bahasa Indonesiaku
bosan mungkin, sanksi tidak diberlakukan lagi, beliau bilang dalam bahasa
Sunda: “Jang, piraku rek jadi awi bingkengna di keluarga almarhum teh?”
(Nak, masa kamu mau jadi bambu yang bengkok di keluarga ayahmu?) Beliau bilang
demikian, mungkin karena beliau tahu bahwa ayahku selagi hidup menjadi kepada
sekolah tempat aku belajar dan mengangkat beliau sebagai guru bahasa Indonesia.
Beliau juga tahu bahwa kakak-kakakku cerdas-cerdas, termasuk pada kakak keduaku
beliau pernah belajar bahasa Inggris. Aku lihat, beliau heran dan kecewa
melihat aku seperti ini.
Bertambah hari, bertambah keheranan dari guru-guru. Perilaku anehku
semakin menjadi-jadi, hingga pernah dalam satu semester aku tidak masuk sekolah
sebanyak 8 hari. Selama delapan hari ini aku bilang sama guru-guruku: “Aku gak
sekolah, karena aku belajar Matematik sendirian di rumah dan ibuku tahu tentang
ini.” Akhirnya, di akhir semester, aku dititipi surat untuk ibuku yang isinya
sudah guru kasih tahu padaku bahwa orang tuaku harus ke sekolah membicarakan
kemalasan aku masuk sekolah. Akhirnya, ibuku ikut rapat orangtua, setelah
selesai ibu menangis dengan bahasa: “Nak, nilai-nilai raportmu masih bagus,
apalagi kalau kamu rajin sekolah.” Aku tersenyum, tak bisa berkata apa-apa.
Semester itu adalah semester ganjil di kelas 2. Setelah kejadian itu, kakakku
yang nomor 1 datang ke sekolah tanpa bilang-bilang dulu padaku, tahu-tahu
tiba-tiba aku dipanggil guru ke kantor dan ternyata di sana sudah ada kakakku.
Ternyata beliau sudah memintakan izin tidak sekolah untuk beberapa hari untuk
membawaku ke Bandung (Izin seperti ini tidak ada dalam kamusku sebelumnya,
bahkan saat kedua kakak perempuanku nikahpun aku tetap sekolah). Kakak bilang,
aku mau dibawa ke kakak nomor 2 di Bandung untuk membicarakan perilaku anehku
agar segera mendapatkan solusinya, bahkan ada rencana juga akan dibawa ke
psikiater atau psikolog, tapi sedikit terkendala biaya, makanya aku harus
berdiskusi dulu dengan kakak nomor dua.
Setiba di Bandung, ternyata kakak nomor 2 menyambut hangat, setelah
menangisiku dan meminta maaf padaku karena beliau tidak membimbingku
menggantikan peran ayah yang sudah meninggal, beliau bilang ke kakak nomor 1
bahwa ini masalah gampang, udah di Bandung dulu aja untuk beberapa hari mah sama
aa (Mas), gak usah ke psikolog segala. Kata kakak nomor 2.
Kakak nomor 2 tidak merasa heran sedikitpun, mungkin karena beliau sudah
banyak melahap berbagai buku, beliau bekerja sebagai pustakawan sebuah
perguruan tinggi Islam negeri di Bandung. Bahkan beliau dikenal cukup “jenius”
oleh teman-temannya (walaupun aku belum punya bukti hasil tes IQ-nya). Beliau
tamatan Strata Satu (S1) bahasa Arab di PTN Islam Bandung dan beasiswa S1
Perpustakaan di PTN Jakarta. Aku menumpahkan unek-unek dan pemikiran aneh
termasuk kekritisan pemikiranku tentang agama. Beliau dapat menerima semua
pemikiranku bahwa itu bukanlah hal menyimpang. Adapun kendala saat ini, karena
SDM guru-guru di kampung belum bisa mengakomodasi pemikiranku yang liar ini.
Suatu hari aku dibawa jalan-jalan ke ITB sambil beli buku pelajaran
Matematika di pasar Ujung Berung. Ini cukup membuat otakku segar, karena ini
pertama kali aku jalan-jalan di Bandung, karena selain tidak pernah jalan-jalan
ke kota, di kampung pun aku termasuk kurang pergaulan (Kuper). Di sepanjang
jalan aku disuguhi obrolan motivatif kakakku, aku didukung masuk ITB, tapi
kakakku mengingatkan bahwa aku tidak perlu menguasai Matematik di kampung, asal
lulus saja, nanti setelah lulus, aku akan diberi kesempatan bimbingan belajar
di Bandung. Hanya satu syaratnya buat kuliah: aku harus mahir bahasa Inggris
dengan alasan di kampungku ada beberapa guru bahasa Inggris, termasuk guru
bahasa Inggris andalan kakak di waktu MTs, kata kakakku. Aku setuju, dan aku
yakin akan masuk ITB. Kakakku menyarankan masuk jurusan mineral/pertambangan,
biar banyak uang, katanya (matre kali….).
Setelah beberapa hari di Bandung aku memutuskan untuk pulang, karena
khawatir pelajaran sekolah sangat tertinggal. Sepulang dari Bandung, aku sempat
dititipkan oleh kakak nomor 1 untuk belajar tambahan ke guru Matematik (Les
Privat), tapi ini hanya berlangsung beberapa pertemuan, karena aku menilai guru
Matematika tidak bisa menerimaku, mungkin khawatir ada unsur pilih kasih di
antara teman-teman yang lain (tapi aku tidak tahu alasan sebenarnya, mungkin
juga beliau terlalu sibuk). Walaupun demikian, mentalku sudah mulai stabil,
sekolahku normal, tidak suka bolos lagi. Aku sangat konsentrasi pada bahasa
Inggris, sehingga setiap guru bahasa Inggris masuk kelas, sudah dibuat
ketagihan nanya tentang materi pelajaran yang sedang dibahas padaku setiap
mengajarnya. Aku semakin semangat dan semakin yakin akan bisa melalui kehidupan
saat itu hingga kuliah.
Kelas 2 berakhir, kini saatnya masuk kelas 3. Ternyata, di sekolahku
hanya ada kelas IPS. Aku sempat mengusulkan kelas bahasa, tapi tidak
terkabulkan karena kurang peminat. Akhirnya aku harus menikmati kelas IPS.
Padahal, walaupun aku tidak bisa eksak, aku juga tidak suka IPS, karena aku
lebih suka bahasa. Di tengah-tengah perjuangan belajar di kelas IPS, kakak
nomor 6 pulang berlibur dari kuliahnya di Bandung. Beliau bercerita juga padaku
bahwa aku lebih baik merencanakan kuliah ngambil jurusan politik atau hubungan
internasional atau manajemen dakwah atau bahasa Inggris. Kakakku nomor 6 ini
sedang kuliah jurusan pendidikan bahasa Inggris tempat kakak nomor 2 bekerja
sebagai pustakawannya.
Aku setuju juga pada saran kakak nomor 6, karena lulusan IPS tidak
mungkin masuk ITB. Pada dasarnya keinginanku adalah masuk jurusan bahasa Arab
atau bahasa Inggris. Tapi bahasa Arab kurang mendapat dukungan, karena dinilai
akan kesulitan dalam menopang ekonomi setelah lulusnya (susah kerja). Di
samping belajar bahasa Inggris secara otodidak, aku terus menambah fokus kajian
yakni Tata Negara. Walaupun guru Tata Negaraku kurang mendukung (mungkin karena
usianya sudah mendekati pensiun, hingga gairah mengajarnya kurang menurut
penilaian subyektifku), aku terus menjajal ilmu guruku yang satu ini, hingga
guruku seringkali menyarankan untuk menggalinya di bangku perguruan tinggi. Aku
puas dan semakin yakin bahwa aku akan masuk perpolitikan.
Sampailah pada kelulusan, kemudian aku ke Bandung untuk daftar SPMB
(UMPTN). Aku ikut daftar jurusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional
di UNPAD. Eh, aku tidak lulus. Aku sempat nangis, dan percaya bahwa aku
ini bodoh serta tidak mungkin kuliah. Tapi kakak nomor 4 dan 6 meyakinkan bahwa
aku masih bisa kuliah.
Setelah gagal masuk UNPAD, aku disarankan kakak nomor 2 untuk kerja di
fotocopy dengan bujukan bahwa aku bisa bekerja sambil membaca setumpuk buku
yang mahasiswa fotocopy di sana. Kebetulan fotocopy tersebut letaknya di
sekitar kampus. Aku setuju, setelah maghrib aku tiba di tempat kerja dan
akhirnya kakak nomor 2, aku, dan pemilik fotocopy (teman kakak nomor 2) sepakat
bahwa aku kerja di sana jadi tukang fotocopy. Aku dilatih cara memfotocopy dan
menjilid buku. Setelah Isya, baru saja aku beres shalat, tiba-tiba datang kakak
nomor 6 dan meminta izin kepada pemilik fotocopy untuk membawaku ke
perpustakaan tempat kakak nomor 2 bekerja (kebetulan kakak nomor 2 suka tidur
di ruang kerjanya). Kami bertiga bertemu, ternyata kakak nomor 6 mau membahas
tentang pekerjaanku itu. Kakak nomor 6 tidak setuju dengan pekerjaan jadi
tukang fotocopy. Beliau berpendapat bahwa kemungkinan besar aku tidak akan
sempat belajar karena kesibukan sehari-hari fotocopy di sekitar kampus itu
sangat padat, yang ada malah aku kelelahan.
Kakak nomor 6 ternyata sudah melobi kakak nomor 4 yang sudah menyatakan
kesiapannya membiayai kuliah atau bimbingan belajar untukku (Memang dari awal
juga kakak nomor 4 -lah yang menyanggupi membiayai kuliahku, walaupun saat itu
juga beliau sedang membiayai kuliah kakak nomor 6, padahal beliau hanya seorang
karyawan pabrik biasa). Kakak nomor 6 mempertanyakan langkah selanjutnya buat
aku kepada kakak nomor 2. Kakak nomor 2, malah berkali-kali bertanya padaku
yang pada saat itu aku bingung karena kakak nomor 2 kurang mendukung kuliah
dengan alasan harus cari duit dulu, kemudian kuliah, agar setelah lulus kuliah
kelak tidak susah kerja. Aku tidak cepat menjawab. Eh, kakak nomor dua
malah bertanya padaku: Kamu mau kuliah enggak, dik? Dari kemarin-kemarin,
sebenarnya aku sudah jengkel karena melihat kegagalanku menempuh jalur kuliah,
aku jadi sangat marah tapi tak kuasa menumpahkannya, sambil sedikit menangis dan
nafas sedikit sesak menahan emosi aku menjawab bahwa aku mau kuliah.
Kakak nomor 2 mungkin agak kesal dan malu kepada temannya yang sudah
dititipi aku kerja jadi tukang fotocopy tadi. Saat itu keputusannya, aku tidak
jadi kerja dan pamitan kepada pemilik fotocopy. Besok harinya aku diantar sama
kakak nomor 2. Di angkot beliau berkata bahwa beliau tidak mendukung dan tidak
mau tahu nasib kuliahku. Semuanya beliau serahkan padaku, kakak nomor 4 dan nomor
6. Aku dan kakak nomor 4 diam saja, tapi kami berdua tetap saja minta maaf
karena tidak menuruti nasihat kakak nomor 2, dan aku tetap minta doa.
Beberapa hari kemudian, kakak nomor 6 datang dan mendiskusikan rencana
selanjutnya kuliahku. Awalnya mau bimbingan belajar (BIMBEL), tapi dengan
pertimbangan khawatir biaya dari kakak nomor 4 tidak cukup, maka kakak nomor 4
dan 6 memutuskan aku harus kuliah Manajemen Informatika (Komputer) jenjang
Diploma Satu (D1) di AMIK terdekat. Salah satu pertimbangannya, sendainya setelah
lulus satu tahun tidak punya biaya untuk melanjutkan kuliah (yang rencananya
daftar lagi jurusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional), aku bisa
kerja dengan ijazah D1.
Setelah itu aku tercatat menjadi mahasiswa Manajemen Informatika dengan
modal belajar komputer di rental hingga jam 10, bahkan 12 malam, karena aku tidak
punya komputer. Mulai saat itu aku hanya bisa pulang setahun sekali saat Idul
Fitri. Hal ini sudah aku bicarakakan dengan ibuku. Di sinilah aku menemukan
kembali ibuku itu seorang yang sangat bijak. Beliau dapat memaklumi aku dan
mengizinkanku untuk kuliah dan tinggal di rumah kontrakan bersama kakak nomor
4, walaupun hanya satu kali berjumpa beliau dalam satu tahun. Saat itu,
keluarga kami masih kesulitan memiliki Handphone, sehingga SMS pun belum bisa
dilakukan. Komunikasi dengan ibu benar-benar hanya satu kali setahun, kecuali
kalau ibu datang berlibur bersama adikku di saat liburan kenaikan kelas.
3. KakakkuKaryawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban
Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
4. Cita-Citaku
Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru
Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku
Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir
Termasuk Panjang Angan-Angan
8. Tidak
Bisa Matematik, Diberi Matematik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar