Minggu, 06 Mei 2012

ANTARA SABAR DAN IKHTIAR:


ANTARA SABAR DAN IKHTIAR:
Sebuah Tulisan Yang Terinspirasi Perjalanan Hidup Seseorang


“Ditulis  dengan harapan sebelum penulis meninggal dunia, ada yang dapat dibaca oleh generasi muda, terutama keluarga penulis: adikku, garis keturunan dari kakak dan siapa saja yang menilai manfaat dari tulisan ini. Sehingga mereka ada sedikit motivasi dalam menjalani hidup ini yang banyak memeras energi”
INTISARI:
Tulisan ini berisi liku-liku seseorang dalam menempuh pendidikan di tengah keberadaan ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan kecerdasannya yang tidak begitu memenuhi syarat dikategorikan pintar. Ia berawal memiliki pemikiran melangit, kini mulai membumi. Dulu terus bercita-cita setinggi-tingginya, kini harus menuju kepasrahan yang sesungguhnya. Pendek kata bolehlah dikatakan bahwa tulisan ini memiliki inti pembahasan “Orang Miskin dan Bodoh Mencicipi Pendidikan Tinggi.”
Selamat menyimak update tulisannya. Semoga bermanfaat!
Aku seorang anak laki-laki yang terlahir dari seorang ibu yang tidak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, yang kemudian digantikan dengan mengikuti program pendidikan Paket A dan ayah berpendidikan PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 Tahun. Aku anak ke-tujuh dari delapan bersaudara. Lahir di sebuah kampung, lereng gunung kecil di sebuah desa. Rumahku jauh dari tetangga, sekitar 500 meter baru ditemukan rumah-rumah tetangga. Namun walaupun jauh, sebuah bangunan SD dan SMP berdiri di jarak tersebut. Ibuku sebagai ibu rumah tangga, ayahku seorang guru agama PNS yang kemudian mendirikan sebuah Madrasah Aliyah (SMA Terpadu).
Walaupun ayahku memberikan suasana rumah dan perlengkapannya sangat sederhana, berbeda dengan keluarga guru-guru lain yang cukup mau menata rumahnya, aku tetap merasa bangga terlahir dari keluarga ini dan bahkan merasa yakin akan menjadi orang sukses di kemudian hari.
Berbekal kebanggaan terhadap ayahku yang cukup dihormati di kalangan warga kampung, juga kakak-kakak yang relatif dikenal pandai di sekolahnya, aku yakin dan berkeinginan mengikuti kepandain kakakku tersebut. Pemahaman bahasa Arab dan Inggris cukup banyak dikenal kakak-kakakku, karena ayahku mengenalkannya cukup serius. Dengan kata lain, kedua bahasa asing tersebut menjadi amanah ayah yang harus selayaknya dipahami anak-anaknya.

Ayahku Miskin, Tapi Hebat
Ayahku seorang guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), bahkan setelah mendirikan MA (Madrasah Aliyah), beliau menjadi ketua yayasan merangkap kepala sekolah. Di samping pekerjaannya di sekolah, beliau juga sangat bekerja keras banting tulang peras keringat mengelola lahan pertanian untuk dijadikan kebun dan kolam yang untuk ukuran waktu itu di sebuah kampung cukup menonjol di atas rata-rata pekerjaan masyarakat sekitarnya.
Aku katakan bahwa ayahku miskin. Bagaimana tidak, punya rumah sendirian di lereng gunung, jauh dari tetangga. Rumah awalnya beralaskan papan kayu, kemudian digantikan dengan batu alam (templek yang sudah dibentuk seperti keramik tapi belum dicat dan diolah dengan layak). Batu alam ini dipasang tanpa menggunakan semen dan pasir. Alhasil, alas rumah hanya berupa potongan-potongan batu persegi dengan perekatnya tanah, padahal saat itu adikku masih bayi. Ia harus bermain di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya di dalam “kurungan” kayu peti seadanya berbentuk kotak sebesar tempat tidur kecil (seukuran ranjang kecil; tidak cukup untuk orang dewasa lurus terlentang) agar ia tidak main ke sana kemari karena takut jatuh menimpa batu. Saat itu adikku baru memasukki belajar jalan dengan bertatih-tatih. Kalau tidak “dikurung” khawatir adik jatuh dan biasanya kalau anak sedang belajar jalan, suka terjatuh hingga tersandung kepalanya ke lantai. Ayah dan ibu percaya bahwa kepala bayi/anak balita jangan sampai terlalu sering tersandung benda keras, selain khawatir kesehatan, khawatir juga berkurang kecerdasannya (tapi aku belum memperoleh referensi medisnya).
Alas berlantaikan batu dan tanah, sedangkan tempat tidur, ayah membuatkan kami kira-kira ukuran 5 meter ke 7 meter papan kayu dipasang di langit-langit rumah. Jadi langit-langit papan inilah yang dijadikan tempat tidur kami. Ini terjadi, mungkin karena ayahku tertarik dengan batu alam, karena di samping rumah ada penggalian cukup besar batu alam dari tebing gunung, bahkan beliau menjadi tokoh penggerak bahkan terjun langsung di lapangan untuk mendapatkan batu itu bersama-sama para pekerjanya, yang kemudian dijual ke luar kota. Penjualan ke luar kota tidak harus diantar langsung sama ayah, karena bos-bos pembeli biasanya datang dan bermalam di rumahku (sebelum alas kayu dibongkar dan diganti dengan batu). Ketika rumah sudah beralaskan batu, batu-batu hasil galian dijual kepada bos lokal (tetangga) yang sudah menjalin kerja sama dengan baik.
Anehnya, dengan keberadaan rumah di atas, aku tidak merasa miskin. Bahkan rasa percaya diriku tetap saja melangit, padahal ibuku agak sering uring-uringan terhadap gaya manajemen keluar ayahku tercinta. Aku tetap saja menilai bahwa ayahku berbuat demikian, karena cerdas dan ingin mencontoh kesederhanaan nabi. Walaupun aku di bawah usia kelas 5 SD, tapi karena aku disekolahkan juga di sekolah agama/Madrasah Ibtidaiyah (MI), lebih jauh lagi MUNGKIN karena sewaktu balita aku sering dibawa ayah dan mendengarkan beliau ketika mengajar anak didiknya di sekolah dan mesjid, sehingga di benakku sudah tertanam benih pengetahuan tentang Rasulullah yang penuh kebersahajaan. Sikap sederhana ini berlaku juga pada pakaian yang dikenakan.
Aku menilai ayahku itu sangat hebat. Di mataku dan cerita-cerita dari Ibuku tercinta dan kakak-kakakku diperoleh informasi bahwa ayahku hampir tidak mengenal waktu sia-sia. Beliau pernah berkata kepada kakak: Hidup ini jangan sampai ada hari kacing calang (telur yang busuk karena tidak menetas). Kesibukan ayahku terlihat dari setumpuk aktivitasnya: beliau dikenal masyarakat sebagai guru agama di sekolah dan mesjid, tokoh LKMD desa kami, membangun kolam dan kebun. Bahkan ayah membuat kolam di dua sungai. Jadi, di sungai tersebut, ayahku membagi dua jalur air sungai. Yang sebelah untuk kolam, yang sebelah lagi untuk air sungai. Mungkin ini dilakukan karena di sungai tidak mungkin akan kekurangan air di musim kemarau yang mana suka menjadikan kekeringan di tempat sekitar rumahku. Sungai yang dibangun cukup jauh dari rumah. Sungai pertama berjarak tempuh sekitar 20 menit jalan kaki, sungai yang satu lagi berjarak tempuh sekitar 45 menit jalan kaki dari rumah. Coba bayangkan sekitar tahun 1987 di perkampungan sudah ada seorang manusia yang berdaya kreativitas demikian, tidakkah kita layak mengatakannya luar biasa! Tambahan pula, di samping pengelolaan kolam untuk ternak ikan, dengan air sungai itu ayahku menjadikannya sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk menjalankan turbin kecil (kincir) yang selain dijadikan penerang gubuk dan kolam, juga dijadikan pengolahan kelapa untuk menghasilkan minyak.
Ayahku sangat berbeda dengan orang lain. Di saat hujan, orang lain diam di rumah, tetapi ayahku malah keluar dari rumah menuju sungai karena khawatir kolamnya rusak diterjang air sungai. Ini dilakukan bukan hanya di siang hari, tapi di malam hari pun demikian. Tidak ada lagi rasa takut di keheningan malam. Pakaian yang dikenakan mengajar di sekolah, seringkali langsung digunakan untuk mencangkul kolam-kolamnya, kebetulan sungai yang dibangun dekat dengan sekolah tempat beliau mengajar.
Di masa mudanya, ayahku juga rajin belajar. Untuk ukuran orang kampung, beliau termasuk pandai. Beliau belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris dari majalah-majalah bekas. Walau tanpa guru langsung, beliau mampu menjadi guru pertama bahasa Arab dan Inggris untuk kakak-kakakku. Bahkan ada perkataan yang berlebihan dari para tokoh masyarakat: “Kalau mau bertanya, tanyakan saja ke Pak Fulan (ayahku), tidak ada satu pertanyaan pun yang tidak bisa dijawab, terutama tentang Islam.” Sayangnya, aku tidak sempat mewarisi ilmunya dalam keadaan sadar, karena ayahku sudah meninggal dunia di usia aku Kelas SD (Sekolah Dasar). Dikatakan keadaan sadar, karena banyak ilmu yang aku peroleh seperti cara baca al-Quran tanpa disadari, tanpa berguru kepada orang lain. Awalnya, aku kira aku sangat pandai, ternyata eh ternyata setelah berkomunikasi dengan kakak, ternyata aku belajar sejak balita bersama kakak-kakakku dan secara tidak langsung belajar kepada ayah di saat beliau mengajar.
Sebelum masuk SD, aku sering meminta diceritakan dan dibacakan tentang dongeng-dongeng, baik dongeng fiksi sunda seperti Si Kancil, Aki-Aki Belegug (Kakek-kakek bodoh, cerita ini sangat unik, tidak sebatas kebodohannya), kisah nabi, dan lain-lain, hingga suatu waktu aku kecil sering kali membawa buku cerita, kemudian seolah-olah membacanya dengan suara nyaring, padahal aku belum bisa membaca. Ternyata  kata kakakku, aku memang belum bisa membaca, tapi aku sudah hapal cerita-cerita di dalam buku tersebut, karena sudah terlalu sering dibacakan kakak.
Aku biasanya ingin belajar ngaji seperti IQRA tamat sekaligus. Kebiasaan ini didukung dengan ketelatenan kakak mengajariku, walaupun seringkali ayah menegur untuk menghentikan cara belajarku, karena khawatir terlalu membebani otak balitaku. Walaupun ayah melarang, beliau tidak memaksa menghentikan, mungkin larangan beliau hanya sebagai kontrol proses pembelajaranku. Ini ayah sungguh luar biasa……! Aku kangen padamu ayah, semoga engkau diberikan tempat yang penuh rahmat di samping Allah SWT. Amiin!
Kehebatan ayahku belum berhenti sampai di atas, beliau juga terkenal dermawan. Bahkan seringkali menimbulkan kecemburuan anggota keluarga. Beliau suka memberi, seperti memberi makanan, menyekolahkan anak-anak kurang mampu, dll. (Aku bilang-bilang di sini, semoga ini tidak mengurangi pahala beliau). Kini aku sering bertanya-tanya ayahku belajar dari mana ya? Kok bisa secerdas itu? (Aku sangat kagum, mungkin karena aku adalah anaknya) Setelah aku besar, aku mencoba mencari-cari buku yang pernah dibaca ayah, ternyata informasi dari kakak bahwa buku-buku tersebut sudah banyak rusak karena air hujan (Maklum rumah ayah dulu banyak rembesan air hujan dari genting; dalam bahasa Sunda: iris), juga banyak yang dimakan rayap (semoga bukan fitnah; maaf ya rayap sahabatku). Dulu tempat penyimpanan buku ayah tidak seperti orang-orang pecinta buku umumnya yang memiliki ruang baca khusus untuk menyimpan bukunya, ayahku menyimpan buku di langit-langit rumah yang berupa atap bambu (bilik).


2. IbukuTidak Sekolah, Tapi Bijak

Beberapa sub bahasan rencana tulisan selanjutnya:
3. Kakakku Karyawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban
4. Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir Termasuk Panjang Angan-Angan

Kata kunci:
Sabar, ikhtiar, peran ibu dalam pendidikan anak, peran kakak dalam pendidikan adik, kisah inspiratif, cerita motivasi, buku motivasi, e-book motivasi, kiat sukses kuliah

Tidak ada komentar: