Selasa, 22 Mei 2012

Hilang Sudah Harapanku


17. Hilang Sudah Harapanku
Sudah lama mengejar cita-cita dengan mengorbankan berbagai kebiasaan seorang manusia pada umumnya. Gaul di masa remaja, main-main dengan teman kuliah dan kebiasaan anak muda lain telah ku singkirkan jauh-jauh dari kehidupanku, penuh harap masa depanku akan lebih baik.
Kesulitan-kesulitan, susah payah, halang-rintang, ku lalui dengan berusaha sesabar mungkin, walau seringkali sambil menggerutu, mungkin karena keimananku yang sangat tipis.
Ku relakan hidup dalam serba kesusahan, ku tunda karir yang pernah dijalani demi cita-cita kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Peluang karir yang walaupun tidak sebesar orang lain yang sukses, aku kira sudah bisa mengurangi derita kemiskinan hidup ini. Tetapi, demi cita-cita yang sudah terbangun sejak kecil untuk merasakan jenjang pendidikan sampai puncak, aku merelakan semua peluang nafkah yang sudah terbuka tertunda.
Kini nasib belajarku tidak jelas. Itu salah, ini salah. Energi terkuras bukan untuk menulis karya tulis, tapi habis ditelan kestresan karena dibayang-bayangi salah melulu sebagai vonis atas hasil tulisanku. Padahal, hanya satu langkah lagi yang harus ku selesaikan saat ini, yaitu karya tulis. Tapi rasanya, sampai detik-detik batas akhir waktu studi belum juga ada titik terang. Apa yang harus aku lakukan? Aku sedih, malu, hatiku serasa teriris sembilu, tak tahu apa yang akan terjadi, tak tahu apa yang harus ku lakukan. Ya Allah, semoga Engkau berkenan membimbing hamba. Hanya Engkaulah satu-satunya yang ku harapkan saat ini. Ikhtiarku dalam belajar yang sudah ku lakukan bertahun-tahun serasa nol besar, tiada sedikit pun menjadi kekuatanku saat ini. Kini, ku lupakan semua kekuatan, karena toh rasanya semua yang pernah ku miliki sudah lepas, hanya ada setitik harapan agar keimananku kepada-Mu masih Engkau pelihara agar aku tidak jadi hamba yang durhaka. A’udzubillah!
Seandainya taqdir sudah tergariskan untuk memotong semua harapan masa depanku yang lebih baik, aku sedang belajar terus dengan ikhlas menerimanya. Tiada lagi harapan, tiada lagi cita-cita. Seandainya aku masih bisa berbagi sepotong TAHU dan BALA-BALA yang pernah menjadi makanan kesukaanku kepada fakir miskin, aku sudah sangat bersyukur. Seandainya aku masih bisa berbagi SATU HURUF dari ilmu yang pernah ku pelajari sampai saat ini kepada fakir miskin, aku sudah bersyukur. Akan tetapi, berbagi sepotong TAHU, sepotong BALA-BALA dan SATU HURUF ILMU itu tidaklah jadi harapanku saat ini. Hal tersebut hanya seandainya taqdir mengharapkan demikian.
Seandainya aku dipaksa menuangkan harapanku yang tersisa, hanyalah imanku kepada Allah semoga masih ada walau sepercik cahaya lampu redup di tengah gelap gulita. Akan tetapi, apabila memang aku tidak pantas mendapatkannya, aku tidak akan memaksa, aku hanya pasrah dan berusaha meyakini bahwa aku memang tidak punya hak atas itu semua. Semua yang berkaitan denganku, bahkan nyawaku pun tidak ada hak bagiku untuk merasa memilikinya, karena itu semua hanya milik Allah semata. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosa hamba-Mu ini.
Mungkin, kebaikan selama ini yang muncul atau tertuang dari kata-kataku tidak setulus isi hatiku. Cita-citaku yang baik tidak sebaik yang ada dalam detak jantungku. Harapanku untuk membantu sesama, terutama fakir miskin yang seringkali ku dengungkan, mungkin tidak seirama dengan denyut nadi dan aliran darah di seluruh badanku. Engkau Maha Mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, mungkin saja diriku ini sudah lama memendam kemunafikan, kepura-puraan, kebohongan. Tetapi itu semua bukan maksudku sesungguhnya. Ku serahkan diri ini kepada-Mu. Engkaulah Yang Maha Memiliki diriku ini.
Ya Allah ampuni hamba…….! Amiin!
Tiada kesengajaan membuat diri ini semakin jauh dari-Mu
Engkau Maha Mengetahui
Engkau Maha Pengampun
Tiada Tuhan selain Allah. Tiada daya dan upaya, kecuali kehendak-Mu
Ya Allah…..Ya Rabbi…..

Tidak ada komentar: