Senin, 14 Mei 2012

Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan


6. Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
Sejak dulu aku menata diri ini dengan penuh optimisme. Meskipun aku tinggal di perkampungan di mana masih banyak siswa (teman-temanku) yang belum mengenal buku tentang motivasi, aku sudah berusaha mengenalnya dengan meminta untuk dipilihkan dan dikirimkan buku oleh kakak dari kota, karena kakak sedang kuliah. Tentunya, kakak mengirimkan judul buku setelah disesuaikan dengan topik yang aku minta.
Walaupun hanya satu-dua buah buku yang saya baca, optimisme sudah sangat kuat di dalam diri karena aku terlahir dari keluarga, terutama dari seorang ayah yang cukup ambisius. Kira-kira begini: “Kalau manusia berusaha, pasti ada jalan menuju kesuksesan.” Bahkan ketika aku sering mendengar beberapa narasumber di radio-radio bahwa “kita ini harus punya cita-cita banyak” atau pernyataan yang sudah biasa didengar adalah “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit!” Semakin melangitlah cita-citaku.
Aku terhipnotis dengan kata-kata motivasi di atas. Aku menargetkan dalam usia 30 tahun harus sudah lulus doktoral, bahkan ingin langsung melanjutkan ke pasca doktoral. Sebuah lembaga pendidikan yang religious (pesantren modern) yang penuh dengan jiwa kemandirian sudah aku mimpikan sejak kecil, dan lebih sering dimimpikan setelah aku masuk kuliah jenjang diploma tiga. Aku yakin, aku bisa mempraktekkan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Pernyataan Sunda “Kumaha engke” (Bagaimana nanti), dengan saran kakak nomor 2 saya sekuat tenaga menggantinya “Engke kumaha” (Nanti bagaimana). Di samping itu masih ada warisan dari obrolan ringan dari kaka nomor 2 juga: hidup ini harus banyak “sugan” (andaikan). Kata “sugan” bermakna kita jangan takut mencoba, karena kalau takut mencoba, tidak akan terbuka pintu kesuksesan.
Dengan ambisi yang semakin membara di dalam dada, aku pasang setiap hal yang dianggap akan menopang kesuksesanku di masa depan. Selain kemampuan di bidang komputer yang diperoleh dari bangku kuliah (padahal belum mapan), aku sudah melebar untuk mempelajari bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Lama-kelamaan kemampuan bahasa Inggris cukup berhasil dibangku kuliah, aku jadi tertarik mempelajari bahasa asing lain yang aku anggap sangat penting karena punya alasan-alasan masing-masing yang muncul dalam benakku. Aku tertarik bahasa Arab untuk belajar Islam, bahasa Jepang untuk kuliah di Negeri Matahari tersebut, bahasa China untuk bersaing di bidang bisnis, dan ingin juga mempelajari bahasa-bahasa asing yang dianggap penting dengan dua pertimbangan utama, yaitu bahasa yang digunakan oleh negara-negara maju dan bahasa yang digunakan oleh banyak negara.
Berkaitan dengan bahasa, aku sempat menulis seperti ini: Bahasa adalah jendela dunia. Bahasa adalah penyambung kehidupan, sehingga tidak mungkin ada kehidupan tanpa bahasa. Apabila terdapat banyak bahasa yang mampu diimplementasikan seseorang, maka akan menumbuhkan benih-benih kehidupan baru di muka bumi ini yang realistis, dinamis, bahkan romantis.
1)      Bahasa Arab: alat komunikasi bangsa Arab dan orang-orang yang tertarik dengan Islam dengan latar belakang benua yang berbeda-beda. Bahasa ini tidak akan mati, selama Islam masih bertahan di muka bumi ini. Dan kepanatikan penggunanya akan sangat kuat, karena bahasa Arab bukan hanya bahasa otak (ilmu pengetahuan), tapi bahasa hati (agama) juga.
2)      Bahasa Inggris: alat komunikasi bangsa-bangsa di dunia, terutama Amerika, Inggris, dan negara-negara yang telah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resminya, baik di lingkungan akademis, maupun non akademis. Bahasa Inggris inilah yang sudah sangat berperan dan dibutuhkan oleh semua negara yang ingin bergaul di kancah internasional
3)      Bahasa Jepang: negara Jepang merupakan negara maju yang sangat membuka peluang beasiswa untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia
4)      Bahasa Mandarin: menjadi bahasa bisnis, bahkan ada yang menyatakan bahasa nomor dua dunia setelah bahasa Inggris, karena China sangat pesat dalam perkembangan bisnisnya
5)      Bahasa Jerman: Banyak beasiswa dan sudah ada Habibi Center  yang menjadi jembatan Indonesia dan Jerman
6)      Bahasa Prancis: Bahasa Jerman dan Prancis merupakan bahasa yang banyak digunakan setelah bahasa Inggris, sehingga banyak referensi yang menggunakan bahasa tersebut.
Sedangkan bahasa yang dapat membantu dalam berkomunikasi secara kultural atau historis (selain bahasa-bahasa di atas) di antaranya adalah:
1)      Bahasa Sunda: bahasa ibuku
2)      Bahasa Jawa: memiliki sejarah peradaban tua di Indonesia. Presiden Indonesia berasal dari Jawa hampir semua (kecuali B. J. Habibie)
3)      Bahasa Korea: perkembangan teknologinya pesat, dan produk-produknya sudah merambah ke Indonesia
4)      Bahasa Spanyol: banyak negara yang menggunakan, dan di Spanyol ini ada sejarah Islam di masa Bani Umayyah II (Spanyol=Andalusia)
5)      Bahasa Belanda: banyak literature Indonesia berbahasa Belanda, seperti hukum.
6)      Bahasa Italia: Italia adalah markaz Paus Paulus, sehingga kalau ingin berkomunikasi dengan non-muslim, khususnya para pemangku Patikan akan lebih mudah kalau menggunakan bahasa Itali.
7)      Bahasa Ibrani: bahasa kitab injil
8)      Bahasa Urdu: banyak para pakar Islam yang memahaminya, seperti M. Iqbal
9)      Bahasa Hindi: digunakan di India, negara Asia yang kemajuan teknologinya berkembang pesat dan Islam Indonesia banyak dibawa saudagar Gujarat India
10)  Bahasa Latin: banyak digunakan untuk makna harfiah berbagai kajian ilmu, seperti Biologi. Bahkan arti komputer saja, awalnya dari bahasa Latin yakni computare.
Dari segudang keinginan, aku mencoba untuk mengambil yang terpentingnya, yakni: al-Quran, komputer, bahasa Arab, bahasa Inggris dan pendidikan. Ini sudah berkali-kali berubah, karena aku seringkali terbuai dan terhipnotis dengan hal-hal baru yang sedang berkembang termasuk penguasaan matematika. Di usia di bawah kepala tiga, meskipun aku sering kali mengalami kesulitan hidup, aku tetap memimpikan keinginan itu (kalaulah tidak tepat dikatakan cita-cita). Dengan keinginan-keinginan di atas, seringkali lupa pada kemampuanku yang sangat terbatas, karena aku terlalu sering berkaca pada perjalanan hidup orang-orang yang aku anggap sukses, baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun dalam kajian Islam. Aku lupa, aku tidak berusaha untuk sadar diri, mawas diri, melihat kemampuan yang dimiliki, hingga “tidak sadarkan diri” di usia 30 belum memiliki apa-apa selain pengalaman kuliah dan liku-liku kehidupan yang mungkin orang lain tidak mau mencobanya.
Usiaku sudah tidak muda lagi, kesuksesanku tampak semu, bimbingan tugas akhir kuliah masih berliku, karir masih berupa bayang-bayang di kegelapan, jangankan berbagi kenikmatan hidup kepada orang lain (yang sejak kecil seringkali diidam-idamkan), mengurus diri sendiri saja tidak kuasa. Aku bertanya-tanya apa yang salah dalam ikhtiar ini? Aku merintih kesakitan dan menahan malu melihat orang-orang di sekitar tampaknya sangat membutuhkan bantuanku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tetangga di kampung kelahiran tidak terpehatikan, ibuku di kampung jarang sekali aku temui, tetangga dekat tempat tinggalku tidak ada komunikasi yang baik, kakakku tidak terbendung lagi pengorbanannya mengurusi hidupku. Aku sudah kehilangan rasa peka, malu tiada kentara di hadapan mereka. Aku hanya seorang parasit, tidak pantas hidup di muka bumi ini. Ampuni hamba Ya Allah!
Karena memaksa diri untuk meninggalkan alam fana ini merupakan sebuah keingkaran terhadap Tuhan, maka aku mencoba bertahan walau harus sering menutup wajah ketika bertemu orang lain, walau harus menahan rasa malu dan menguburnya dalam-dalam di dalam dadaku. Ku coba menjalani hidup ini sebagai bentuk pengabdianku kepada Allah. Tidak ada lagi cita-cita yang aku tampakkan. Tidak ada lagi optimisme yang aku kedepankan, hanya penantian atas taqdir selanjutnya yang sudah Tuhan gariskan padaku. Keinginan untuk berbuat untuk umat, walau dengan berat hati, aku coba kendalikan dan disimpan rapat-rapat di tempat yang tidak mungkin orang menemukannya, karena itu juga membuat aku menderita dan seringkali karenanya cita-citaku tumbuh kembali.
Biarlah aku menjadi manusia mati yang tidak diketahui keberadaannya. Hanya setitik harapan semoga Allah masih berkenan bersamaku, walaupun hanya sepercik cahaya-Nya. Mucullah pemikiran: Bercita-citalah setinggi-tingginya kalau kamu mau menderita! Ini tidak berarti laranganku untuk bercita-cita, tapi seandainya kamu kuat menahan penderitaannya [seandainya terjadi], maka bercita-citalah, karena di balik penderitaan juga ada segunung pahala yang telah Allah siapkan untuk makhluk-nya, insyaAllah. Akan tetapi, kalau setelah bercita-cita, ternyata kamu merasakan penderitaan yang luar biasa sehingga semakin jauh dari-Nya, maka segeralah bertekuk lutut dan bersujud kepada-Nya dengan menutup badan dengan pakaian KESABARAN setebal-tebalnya.
Kini aku…..
Tak lagi punya cita-cita
Hanya berjalan semampunya…..
Menanti garis taqdir yang telah Tuhan gariskan padaku….
Sabar….sabar….sabar….
Pasrah….pasrah….pasrah…pasrah…pasrah…. pasrah…. pasrah….
Ampuni hamba ya Allah…….!

7. Aku Baru Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
8. Aku Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
9. Khawatir Termasuk Panjang Angan-Angan
10. Tidak Bisa Matematik, Diberi Matematik
11. Rumahku Surgaku
12. Aku dan Kantin
13. Tempat Kerjaku Menyita Waktu dan Energi
14. Teman Kuliah Juga Guruku

Tidak ada komentar: