6.
Cita-Citaku Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
Sejak dulu aku menata diri ini dengan penuh
optimisme. Meskipun aku tinggal di perkampungan di mana masih banyak siswa (teman-temanku)
yang belum mengenal buku tentang motivasi, aku sudah berusaha mengenalnya
dengan meminta untuk dipilihkan dan dikirimkan buku oleh kakak dari kota,
karena kakak sedang kuliah. Tentunya, kakak mengirimkan judul buku setelah
disesuaikan dengan topik yang aku minta.
Walaupun hanya satu-dua buah buku yang saya baca, optimisme sudah sangat
kuat di dalam diri karena aku terlahir dari keluarga, terutama dari seorang
ayah yang cukup ambisius. Kira-kira begini: “Kalau manusia berusaha, pasti ada
jalan menuju kesuksesan.” Bahkan ketika aku sering mendengar beberapa
narasumber di radio-radio bahwa “kita ini harus punya cita-cita banyak” atau
pernyataan yang sudah biasa didengar adalah “gantungkanlah cita-citamu setinggi
langit!” Semakin melangitlah cita-citaku.
Aku terhipnotis dengan kata-kata motivasi di atas. Aku menargetkan dalam
usia 30 tahun harus sudah lulus doktoral, bahkan ingin langsung melanjutkan ke
pasca doktoral. Sebuah lembaga pendidikan yang religious (pesantren modern)
yang penuh dengan jiwa kemandirian sudah aku mimpikan sejak kecil, dan lebih
sering dimimpikan setelah aku masuk kuliah jenjang diploma tiga. Aku yakin, aku
bisa mempraktekkan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Pernyataan Sunda
“Kumaha engke” (Bagaimana nanti), dengan saran kakak nomor 2 saya sekuat tenaga
menggantinya “Engke kumaha” (Nanti bagaimana). Di samping itu masih ada warisan
dari obrolan ringan dari kaka nomor 2 juga: hidup ini harus banyak “sugan”
(andaikan). Kata “sugan” bermakna kita jangan takut mencoba, karena kalau takut
mencoba, tidak akan terbuka pintu kesuksesan.
Dengan ambisi yang semakin membara di dalam dada, aku pasang setiap hal
yang dianggap akan menopang kesuksesanku di masa depan. Selain kemampuan di
bidang komputer yang diperoleh dari bangku kuliah (padahal belum mapan), aku
sudah melebar untuk mempelajari bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Lama-kelamaan
kemampuan bahasa Inggris cukup berhasil dibangku kuliah, aku jadi tertarik
mempelajari bahasa asing lain yang aku anggap sangat penting karena punya
alasan-alasan masing-masing yang muncul dalam benakku. Aku tertarik bahasa Arab
untuk belajar Islam, bahasa Jepang untuk kuliah di Negeri Matahari tersebut,
bahasa China untuk bersaing di bidang bisnis, dan ingin juga mempelajari bahasa-bahasa
asing yang dianggap penting dengan dua pertimbangan utama, yaitu bahasa yang
digunakan oleh negara-negara maju dan bahasa yang digunakan oleh banyak negara.
Berkaitan dengan bahasa, aku sempat menulis seperti ini: Bahasa adalah
jendela dunia. Bahasa adalah penyambung kehidupan, sehingga tidak mungkin ada
kehidupan tanpa bahasa. Apabila terdapat banyak bahasa yang mampu
diimplementasikan seseorang, maka akan menumbuhkan benih-benih kehidupan baru
di muka bumi ini yang realistis, dinamis, bahkan romantis.
1)
Bahasa Arab: alat komunikasi bangsa Arab dan
orang-orang yang tertarik dengan Islam dengan latar belakang benua yang
berbeda-beda. Bahasa ini tidak akan mati, selama Islam masih bertahan di muka
bumi ini. Dan kepanatikan penggunanya akan sangat kuat, karena bahasa Arab
bukan hanya bahasa otak (ilmu pengetahuan), tapi bahasa hati (agama) juga.
2)
Bahasa Inggris: alat komunikasi bangsa-bangsa
di dunia, terutama Amerika, Inggris, dan negara-negara yang telah menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa resminya, baik di lingkungan akademis, maupun non
akademis. Bahasa Inggris inilah yang sudah sangat berperan dan dibutuhkan oleh
semua negara yang ingin bergaul di kancah internasional
3)
Bahasa Jepang: negara Jepang merupakan negara
maju yang sangat membuka peluang beasiswa untuk negara-negara lain, termasuk
Indonesia
4)
Bahasa Mandarin: menjadi
bahasa bisnis, bahkan ada yang menyatakan bahasa nomor dua dunia setelah bahasa
Inggris, karena China sangat pesat dalam perkembangan bisnisnya
5)
Bahasa Jerman: Banyak beasiswa dan sudah ada
Habibi Center yang menjadi jembatan
Indonesia dan Jerman
6)
Bahasa Prancis: Bahasa Jerman dan Prancis
merupakan bahasa yang banyak digunakan setelah bahasa Inggris, sehingga banyak
referensi yang menggunakan bahasa tersebut.
Sedangkan bahasa yang dapat membantu dalam berkomunikasi secara kultural
atau historis (selain bahasa-bahasa di atas) di antaranya adalah:
1)
Bahasa Sunda: bahasa ibuku
2)
Bahasa Jawa: memiliki sejarah peradaban tua di
Indonesia. Presiden Indonesia berasal dari Jawa hampir semua (kecuali B. J.
Habibie)
3)
Bahasa Korea: perkembangan teknologinya pesat,
dan produk-produknya sudah merambah ke Indonesia
4)
Bahasa Spanyol: banyak negara yang menggunakan,
dan di Spanyol ini ada sejarah Islam di masa Bani Umayyah II
(Spanyol=Andalusia)
5)
Bahasa Belanda: banyak literature Indonesia
berbahasa Belanda, seperti hukum.
6)
Bahasa Italia: Italia adalah markaz Paus Paulus,
sehingga kalau ingin berkomunikasi dengan non-muslim, khususnya para pemangku Patikan
akan lebih mudah kalau menggunakan bahasa Itali.
7)
Bahasa Ibrani: bahasa kitab injil
8)
Bahasa Urdu: banyak para pakar Islam yang
memahaminya, seperti M. Iqbal
9)
Bahasa Hindi: digunakan di India, negara Asia
yang kemajuan teknologinya berkembang pesat dan Islam Indonesia banyak dibawa
saudagar Gujarat India
10) Bahasa Latin:
banyak digunakan untuk makna harfiah berbagai kajian ilmu, seperti Biologi.
Bahkan arti komputer saja, awalnya dari bahasa Latin yakni computare.
Dari segudang keinginan, aku mencoba untuk mengambil yang terpentingnya,
yakni: al-Quran, komputer, bahasa Arab, bahasa Inggris dan pendidikan. Ini
sudah berkali-kali berubah, karena aku seringkali terbuai dan terhipnotis
dengan hal-hal baru yang sedang berkembang termasuk penguasaan matematika. Di
usia di bawah kepala tiga, meskipun aku sering kali mengalami kesulitan hidup,
aku tetap memimpikan keinginan itu (kalaulah tidak tepat dikatakan cita-cita). Dengan
keinginan-keinginan di atas, seringkali lupa pada kemampuanku yang sangat
terbatas, karena aku terlalu sering berkaca pada perjalanan hidup orang-orang
yang aku anggap sukses, baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun dalam
kajian Islam. Aku lupa, aku tidak berusaha untuk sadar diri, mawas diri,
melihat kemampuan yang dimiliki, hingga “tidak sadarkan diri” di usia 30 belum
memiliki apa-apa selain pengalaman kuliah dan liku-liku kehidupan yang mungkin
orang lain tidak mau mencobanya.
Usiaku sudah tidak muda lagi, kesuksesanku tampak semu, bimbingan tugas
akhir kuliah masih berliku, karir masih berupa bayang-bayang di kegelapan, jangankan
berbagi kenikmatan hidup kepada orang lain (yang sejak kecil seringkali
diidam-idamkan), mengurus diri sendiri saja tidak kuasa. Aku bertanya-tanya apa
yang salah dalam ikhtiar ini? Aku merintih kesakitan dan menahan malu melihat
orang-orang di sekitar tampaknya sangat membutuhkan bantuanku, tapi aku tak
bisa berbuat apa-apa. Tetangga di kampung kelahiran tidak terpehatikan, ibuku
di kampung jarang sekali aku temui, tetangga dekat tempat tinggalku tidak ada
komunikasi yang baik, kakakku tidak terbendung lagi pengorbanannya mengurusi
hidupku. Aku sudah kehilangan rasa peka, malu tiada kentara di hadapan mereka. Aku
hanya seorang parasit, tidak pantas hidup di muka bumi ini. Ampuni hamba Ya
Allah!
Karena memaksa diri untuk meninggalkan alam fana ini merupakan sebuah
keingkaran terhadap Tuhan, maka aku mencoba bertahan walau harus sering menutup
wajah ketika bertemu orang lain, walau harus menahan rasa malu dan menguburnya
dalam-dalam di dalam dadaku. Ku coba menjalani hidup ini sebagai bentuk
pengabdianku kepada Allah. Tidak ada lagi cita-cita yang aku tampakkan. Tidak ada
lagi optimisme yang aku kedepankan, hanya penantian atas taqdir selanjutnya
yang sudah Tuhan gariskan padaku. Keinginan untuk berbuat untuk umat, walau
dengan berat hati, aku coba kendalikan dan disimpan rapat-rapat di tempat yang
tidak mungkin orang menemukannya, karena itu juga membuat aku menderita dan
seringkali karenanya cita-citaku tumbuh kembali.
Biarlah aku menjadi manusia mati yang tidak diketahui keberadaannya. Hanya
setitik harapan semoga Allah masih berkenan bersamaku, walaupun hanya sepercik
cahaya-Nya. Mucullah pemikiran: Bercita-citalah setinggi-tingginya kalau kamu
mau menderita! Ini tidak berarti laranganku untuk bercita-cita, tapi seandainya
kamu kuat menahan penderitaannya [seandainya terjadi], maka bercita-citalah,
karena di balik penderitaan juga ada segunung pahala yang telah Allah siapkan
untuk makhluk-nya, insyaAllah. Akan tetapi, kalau setelah bercita-cita,
ternyata kamu merasakan penderitaan yang luar biasa sehingga semakin jauh
dari-Nya, maka segeralah bertekuk lutut dan bersujud kepada-Nya dengan menutup
badan dengan pakaian KESABARAN setebal-tebalnya.
Kini aku…..
Tak lagi punya cita-cita
Hanya berjalan semampunya…..
Menanti garis taqdir yang telah Tuhan gariskan padaku….
Sabar….sabar….sabar….
Pasrah….pasrah….pasrah…pasrah…pasrah…. pasrah…. pasrah….
Ampuni hamba ya Allah…….!
7. Aku Baru
Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
8. Aku
Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
9. Khawatir
Termasuk Panjang Angan-Angan
10. Tidak
Bisa Matematik, Diberi Matematik
11. Rumahku
Surgaku
12. Aku dan
Kantin
13. Tempat
Kerjaku Menyita Waktu dan Energi
14. Teman
Kuliah Juga Guruku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar