Selasa, 22 Mei 2012

Aku dan Kantin


12. Aku dan Kantin
Sejak duduk di bangku sekolah sampai kuliah aku termasuk jarang sekali ke kantin. Kebiasaan ini sudah membuat aku tidak begitu tahu seluk beluk kehidupan kantin. Ketika masuk kantin, aku kaku, tak tahu harus berbuat apa. Waktu istirahat yang biasa teman-teman gunakan untuk ke kantin, aku tidak melakukannya, ruang kelas atau perpustakaan mungkin ruangan pengganti kantin yang aku kunjungi meskipun aku tidak termasuk mahasiswa jago baca.
Tidak ke kantin mungkin dilatar-belakangi bekal yang pas-pasan, bahkan aku jarang sekali diberi anggaran uang jajan, dan aku juga tidak menginginkannya. Aku merasa tidak setuju melihat mahasiswa sering ke kantin, karena mereka terlihat gembira ria menghabiskan uang jajan, padahal uang tersebut hasil jerih payah orangtua seharian sampai larut malam. Orangtua berusaha menaruhkan nyawa demi uang jajan anaknya, yang kalau tidak diberikan, seringkali anaknya marah bahkan enggan pergi ke sekolah. Aku bertanya-tanya: kenapa siswa atau mahasiswa seolah-olah wajib jajan ke kantin? Sampai saat ini aku belum punya alasan yang rasional. Kenapa kita ke kantin, sementara anak-anak jalanan, yatim piatu, dan fakir miskin makan saja susah, mereka menderita, berpakaianpun compang-camping. Mereka, anak-anak fakir miskin menaruhkan nyawanya ikut menggali pasir bersama ayahnya demi sesuap nasi. Tidakkah mahasiswa memikirkan hal itu? Kalau lapar, bawa aja dari rumah. Toh, yang aku rasakan sampai saat ini, tanpa kantin pun masih bisa bertahan hidup. Maksudnya, kalau sekali-kali bisa ditolerir, ini yang terjadi hampir setiap istirahat kuliah…..! Apa-apaan ini? Apakah kebiasaan ini layak dicontohkan seorang mahasiswa yang notabene manusia terpelajar?
Di samping pandangan menentang mahasiswa pergi ke kantin yang mencirikan gengsi mereka yang dipelihara, aku juga sadar, mungkin saja pikiranku ini muncul karena aku termasuk orang tak punya. Tapi ini hanya satu kemungkinan, kemungkinan-kemungkinan lainnya masih bisa terjadi, seperti memang benar kebiasaan itu jelek karena sudah melupakan nasib kaum melarat.
Kebiasaan ke kantin yang sudah menjadi trend, bahkan gengsi sepadang dengan kesukaan siswa atau mahasiswa memiliki HP, komputer atau kendaraan. Mereka seringkali tampil “bergaya” dengan ketiga teknologi tersebut, padahal orangtua yang membelikannya bersusah payah mengusahakannya. Apa fungsi teknologi itu? Nonsense, hanya gaul dan bergaya saja. Mereka ingin dinilai punya, tapi lupa bahwa orang lain juga tahu bahwa siswa atau mahasiswa yang demikian itu miskin, punya uang karena pemberian orangtuanya. Ini jarang disadari, ini jarang disadari. Sungguh, jarang disadari.
Lantas, bagaimana kalau mahasiswa itu membelinya dengan uang hasil kerjanya sendiri? Bolehkah? Aku pikir kita harus bertanya pada diri sendiri: Apa manfaatnya dari teknologi itu? Tidakkah ada maksud pamer? Kalau manfaatnya sudah jelas, seperti untuk bisnis atau belajar, boleh itu dilakukan, bahkan disarankan kalaulah mampu.

Tidak ada komentar: