15. Tidak
Semua Orang Bisa Berbisnis
Banyak para wirausahawan, baik pebisnis tulen atau berperan ganda
sebagai dosen dan motivator menyatakan bahwa setiap orang bisa jadi
wirausahawan/pebisnis. Demikian juga yang pernah aku dengar ketika di bangku
kuliah salah satu kampus. Saat itu aku mengiyakan dan aku bersemangat untuk
membuktikannya.
Walaupun baru sedikit mencoba, lama-lama aku mengira bahwa aku ini bukan
tipe pebisnis sejati, karena ketika hal-hal berbau bisnis aku lakoni, yang ada
hanya berupa terimakasih dan terimakasih, karena aku tidak berani memberikan
patokan harga jasa/barang aku jual, padahal aku sudah berkali-kali untuk
memberanikannya. Hal ini diperkuat ketika menggantikan kakak berjualan di
pasar, ketika kakak sedang belanja ke toko sebelah, kira-kira membutuhkan waktu
10 menit. Terlihat ketika para pembeli membeli dengan berutang, aku tak kuasa
menolaknya, padahal aku sendiri yang sering menyarankan kepada kakak untuk
tidak memberinya mengingat banyak pembeli yang berutang tidak mau membayar pada
waktunya, bahkan ada yang cenderung melupakannya. Sebagai solusinya: “Jika ada
yang pinjam maka berilah, tapi di dalam hati jangan berharap untuk
dikembalikan. Jika ada yang berutang maka berilah, tapi di dalam hati jangan
berharap untuk dibayarnya.”
Selain hal di atas, aku ini cenderung lamban dalam bertindak, bahkan
mengingat harga-harga barang saja susah sekali dan tidak ada motivasi untuk
mengingatnya, seringkali aku balik nanya kepada pembeli berapa harga yang
dibelinya? Hal ini sedikit memperkuat bahwa aku bukan jiwa pebisnis.
Muncullah pemikiran:
Kalau kamu tidak bisa jadi pebisnis (businessman), jadilah pegawai yang
baik. Jika kamu bisa jadi pebisnis, jadilah pelajar yang berpendidikan tinggi.
Jika kamu tidak mampu kaya raya, maka jadilah orang miskin yang baik. Jika kamu
tidak mampu menjadi orang miskin yang baik, jadilah orang miskin yang tak
melupakan Tuhan.
Ketika membaca buku Rich Dad Poor Dad yang menggambarkan motivasi untuk
menjadi kaya dari seorang ayah kaya dengan pekerjaannya sebagai pebisnis,
awalnya aku berharap untuk mencontoh ayah kaya, karena ayah miskin yang
digambarkan adalah seorang berpendidikan tinggi yang pendapatannya menunggu
saat gajian, sehingga tampak jumlah uang yang diperoleh ayah miskin kalah telak
oleh ayah kaya. Akan tetapi, setelah ditimbang-timbang, masa iya di dunia ini
harus semua jadi pengusaha/businessman? Kalau semua jadi pengusaha, siapa yang
mau jadi pekerjanya? Pertanyaan inilah yang menjadi kendali bahwa ketika seseorang
sudah berusaha menjadi seorang pengusaha, tapi masih belum berhasil juga, maka
jadilah pegawai yang baik yang dapat membantu managernya menuju kesuksesan
bersama.
Kalau ingin kaya, fokuslah di dunia usaha. Walaupun anda tidak berhasil,
tetap saja dunia akan mengenal anda berada di dunia wirausaha.
Kalau ingin “miskin”, fokuslah di dunia pendidikan. Walaupun anda tidak
termasuk kategori jenius, tetap saja dunia akan mengenal anda berada di dunia
pendidikan. Lebih ekstrimnya, dunia akan mengenal anda karena berbagai
kegagalan yang pernah anda alami selama di bangku perkuliahan. Bukankah
kegagalan juga akan menjadi ilmu bagi umat manusia di dunia ini? Toh,
kita tidak perlu jawaban berhasil atau gagalnya, tapi yang diperlukan ikhtiar
sebagai prosesnya.
Berbuatlah sekecil apapun dan fokuslah dalam satu hal, karena dunia akan
merasakan kehadiran anda, walaupun seharga barang bekas, tapi tetap saja ada
nilainya.
Janganlah menjadi pengangguran, tak ada yang diperbuat, tak ada yang
dipikirkan karena dunia tidak akan mengenal siapa diri anda sebenarnya, bahkan
boleh jadi yang ada hanya murka atas kemalasan anda.
Memang kita sadari bahwa hidup ini tidak perlu
ingin dikenal oleh siapapun, karena ingin dikenali hanya akan membuat kita
menderita. Tapi karena dunia ini mengandung unsur sebab-akibat, maka kata
mengenal atau dikenal sudah lazim terjadi dalam suatu perbuatan seorang umat
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar