ANTARA SABAR DAN IKHTIAR:
Sebuah Tulisan Yang Terinspirasi Perjalanan
Hidup Seseorang
Oleh: Komarudin Tasdik
“Ditulis dengan harapan sebelum
penulis meninggal dunia, ada yang dapat dibaca oleh generasi muda, terutama
keluarga penulis: adikku, garis keturunan dari kakak dan siapa saja yang menilai
manfaat dari tulisan ini. Sehingga mereka ada sedikit motivasi dalam menjalani
hidup ini yang banyak memeras energi”
INTISARI:
Tulisan ini
berisi liku-liku seseorang dalam menempuh pendidikan di tengah keberadaan
ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan kecerdasannya yang tidak begitu
memenuhi syarat dikategorikan pintar. Ia berawal memiliki pemikiran melangit,
kini mulai membumi. Dulu terus bercita-cita setinggi-tingginya, kini harus
menuju kepasrahan yang sesungguhnya. Pendek kata bolehlah dikatakan bahwa
tulisan ini memiliki inti pembahasan “Orang Miskin dan Bodoh Mencicipi
Pendidikan Tinggi.”
Selamat
menyimak update tulisannya. Semoga bermanfaat!
Aku seorang anak laki-laki yang terlahir dari seorang ibu yang tidak
sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, yang kemudian digantikan dengan
mengikuti program pendidikan Paket A dan ayah berpendidikan PGA (Pendidikan
Guru Agama) 6 Tahun. Aku anak ke-tujuh dari delapan bersaudara. Lahir di sebuah
kampung, lereng gunung kecil di sebuah desa. Rumahku jauh dari tetangga,
sekitar 500 meter baru ditemukan rumah-rumah tetangga. Namun walaupun jauh,
sebuah bangunan SD dan SMP berdiri di jarak tersebut. Ibuku sebagai ibu rumah
tangga, ayahku seorang guru agama PNS yang kemudian mendirikan sebuah Madrasah
Aliyah (SMA Terpadu).
Walaupun ayahku memberikan suasana rumah dan perlengkapannya sangat
sederhana, berbeda dengan keluarga guru-guru lain yang cukup mau menata
rumahnya, aku tetap merasa bangga terlahir dari keluarga ini dan bahkan merasa
yakin akan menjadi orang sukses di kemudian hari.
Berbekal kebanggaan terhadap ayahku yang cukup dihormati di kalangan
warga kampung, juga kakak-kakak yang relatif dikenal pandai di sekolahnya, aku
yakin dan berkeinginan mengikuti kepandain kakakku tersebut. Pemahaman bahasa
Arab dan Inggris cukup banyak dikenal kakak-kakakku, karena ayahku
mengenalkannya cukup serius. Dengan kata lain, kedua bahasa asing tersebut
menjadi amanah ayah yang harus selayaknya dipahami anak-anaknya.
Ayahku
Miskin, Tapi Hebat
Ayahku seorang guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), bahkan setelah
mendirikan MA (Madrasah Aliyah), beliau menjadi ketua yayasan merangkap kepala
sekolah. Di samping pekerjaannya di sekolah, beliau juga sangat bekerja keras
banting tulang peras keringat mengelola lahan pertanian untuk dijadikan kebun
dan kolam yang untuk ukuran waktu itu di sebuah kampung cukup menonjol di atas
rata-rata pekerjaan masyarakat sekitarnya.
Aku katakan bahwa ayahku miskin. Bagaimana tidak, punya rumah sendirian
di lereng gunung, jauh dari tetangga. Rumah awalnya beralaskan papan kayu,
kemudian digantikan dengan batu alam (templek yang sudah dibentuk
seperti keramik tapi belum dicat dan diolah dengan layak). Batu alam ini
dipasang tanpa menggunakan semen dan pasir. Alhasil, alas rumah hanya berupa
potongan-potongan batu persegi dengan perekatnya tanah, padahal saat itu adikku
masih bayi. Ia harus bermain di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya di dalam
“kurungan” kayu peti seadanya berbentuk kotak sebesar tempat tidur kecil (seukuran
ranjang kecil; tidak cukup untuk orang dewasa lurus terlentang) agar ia tidak
main ke sana kemari karena takut jatuh menimpa batu. Saat itu adikku baru
memasukki belajar jalan dengan bertatih-tatih. Kalau tidak “dikurung” khawatir
adik jatuh dan biasanya kalau anak sedang belajar jalan, suka terjatuh hingga
tersandung kepalanya ke lantai. Ayah dan ibu percaya bahwa kepala bayi/anak
balita jangan sampai terlalu sering tersandung benda keras, selain khawatir
kesehatan, khawatir juga berkurang kecerdasannya (tapi aku belum memperoleh
referensi medisnya).
Alas berlantaikan batu dan tanah, sedangkan tempat tidur, ayah
membuatkan kami kira-kira ukuran 5 meter ke 7 meter papan kayu dipasang di
langit-langit rumah. Jadi langit-langit papan inilah yang dijadikan tempat
tidur kami. Ini terjadi, mungkin karena ayahku tertarik dengan batu alam,
karena di samping rumah ada penggalian cukup besar batu alam dari tebing
gunung, bahkan beliau menjadi tokoh penggerak bahkan terjun langsung di
lapangan untuk mendapatkan batu itu bersama-sama para pekerjanya, yang kemudian
dijual ke luar kota. Penjualan ke luar kota tidak harus diantar langsung sama
ayah, karena bos-bos pembeli biasanya datang dan bermalam di rumahku (sebelum
alas kayu dibongkar dan diganti dengan batu). Ketika rumah sudah beralaskan
batu, batu-batu hasil galian dijual kepada bos lokal (tetangga) yang sudah
menjalin kerja sama dengan baik.
Anehnya, dengan keberadaan rumah di atas, aku tidak merasa miskin.
Bahkan rasa percaya diriku tetap saja melangit, padahal ibuku agak sering
uring-uringan terhadap gaya manajemen keluar ayahku tercinta. Aku tetap saja
menilai bahwa ayahku berbuat demikian, karena cerdas dan ingin mencontoh
kesederhanaan nabi. Walaupun aku di bawah usia kelas 5 SD, tapi karena aku
disekolahkan juga di sekolah agama/Madrasah Ibtidaiyah (MI), lebih jauh lagi
MUNGKIN karena sewaktu balita aku sering dibawa ayah dan mendengarkan beliau
ketika mengajar anak didiknya di sekolah dan mesjid, sehingga di benakku sudah
tertanam benih pengetahuan tentang Rasulullah yang penuh kebersahajaan. Sikap
sederhana ini berlaku juga pada pakaian yang dikenakan.
Aku menilai ayahku itu sangat hebat. Di mataku dan cerita-cerita dari
Ibuku tercinta dan kakak-kakakku diperoleh informasi bahwa ayahku hampir tidak
mengenal waktu sia-sia. Beliau pernah berkata kepada kakak: Hidup ini jangan
sampai ada hari kacing calang (telur yang busuk karena tidak menetas).
Kesibukan ayahku terlihat dari setumpuk aktivitasnya: beliau dikenal masyarakat
sebagai guru agama di sekolah dan mesjid, tokoh LKMD desa kami, membangun kolam
dan kebun. Bahkan ayah membuat kolam di dua sungai. Jadi, di sungai tersebut,
ayahku membagi dua jalur air sungai. Yang sebelah untuk kolam, yang sebelah
lagi untuk air sungai. Mungkin ini dilakukan karena di sungai tidak mungkin
akan kekurangan air di musim kemarau yang mana suka menjadikan kekeringan di
tempat sekitar rumahku. Sungai yang dibangun cukup jauh dari rumah. Sungai
pertama berjarak tempuh sekitar 20 menit jalan kaki, sungai yang satu lagi
berjarak tempuh sekitar 45 menit jalan kaki dari rumah. Coba bayangkan sekitar
tahun 1987 di perkampungan sudah ada seorang manusia yang berdaya kreativitas
demikian, tidakkah kita layak mengatakannya luar biasa! Tambahan pula, di
samping pengelolaan kolam untuk ternak ikan, dengan air sungai itu ayahku
menjadikannya sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk menjalankan
turbin kecil (kincir) yang selain dijadikan penerang gubuk dan kolam,
juga dijadikan pengolahan kelapa untuk menghasilkan minyak.
Ayahku sangat berbeda dengan orang lain. Di saat hujan, orang lain diam
di rumah, tetapi ayahku malah keluar dari rumah menuju sungai karena khawatir
kolamnya rusak diterjang air sungai. Ini dilakukan bukan hanya di siang hari,
tapi di malam hari pun demikian. Tidak ada lagi rasa takut di keheningan malam.
Pakaian yang dikenakan mengajar di sekolah, seringkali langsung digunakan untuk
mencangkul kolam-kolamnya, kebetulan sungai yang dibangun dekat dengan sekolah
tempat beliau mengajar.
Di masa mudanya, ayahku juga rajin belajar. Untuk ukuran orang kampung,
beliau termasuk pandai. Beliau belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris dari
majalah-majalah bekas. Walau tanpa guru langsung, beliau mampu menjadi guru
pertama bahasa Arab dan Inggris untuk kakak-kakakku. Bahkan ada perkataan yang
berlebihan dari para tokoh masyarakat: “Kalau mau bertanya, tanyakan saja ke
Pak Fulan (ayahku), tidak ada satu pertanyaan pun yang tidak bisa dijawab,
terutama tentang Islam.” Sayangnya, aku tidak sempat mewarisi ilmunya dalam
keadaan sadar, karena ayahku sudah meninggal dunia di usia aku Kelas SD
(Sekolah Dasar). Dikatakan keadaan sadar, karena banyak ilmu yang aku peroleh
seperti cara baca al-Quran tanpa disadari, tanpa berguru kepada orang lain.
Awalnya, aku kira aku sangat pandai, ternyata eh ternyata setelah
berkomunikasi dengan kakak, ternyata aku belajar sejak balita bersama
kakak-kakakku dan secara tidak langsung belajar kepada ayah di saat beliau
mengajar.
Sebelum masuk SD, aku sering meminta diceritakan dan dibacakan tentang
dongeng-dongeng, baik dongeng fiksi sunda seperti Si Kancil, Aki-Aki Belegug
(Kakek-kakek bodoh, cerita ini sangat unik, tidak sebatas kebodohannya), kisah
nabi, dan lain-lain, hingga suatu waktu aku kecil sering kali membawa buku
cerita, kemudian seolah-olah membacanya dengan suara nyaring, padahal aku belum
bisa membaca. Ternyata kata kakakku, aku
memang belum bisa membaca, tapi aku sudah hapal cerita-cerita di dalam buku
tersebut, karena sudah terlalu sering dibacakan kakak.
Aku biasanya ingin belajar ngaji seperti IQRA tamat sekaligus. Kebiasaan
ini didukung dengan ketelatenan kakak mengajariku, walaupun seringkali ayah
menegur untuk menghentikan cara belajarku, karena khawatir terlalu membebani
otak balitaku. Walaupun ayah melarang, beliau tidak memaksa menghentikan,
mungkin larangan beliau hanya sebagai kontrol proses pembelajaranku. Ini ayah
sungguh luar biasa……! Aku kangen padamu ayah, semoga engkau diberikan tempat
yang penuh rahmat di samping Allah SWT. Amiin!
Kehebatan ayahku belum berhenti sampai di atas, beliau juga terkenal
dermawan. Bahkan seringkali menimbulkan kecemburuan anggota keluarga. Beliau
suka memberi, seperti memberi makanan, menyekolahkan anak-anak kurang mampu,
dll. (Aku bilang-bilang di sini, semoga ini tidak mengurangi pahala beliau).
Kini aku sering bertanya-tanya ayahku belajar dari mana ya? Kok bisa secerdas
itu? (Aku sangat kagum, mungkin karena aku adalah anaknya) Setelah aku besar,
aku mencoba mencari-cari buku yang pernah dibaca ayah, ternyata informasi dari
kakak bahwa buku-buku tersebut sudah banyak rusak karena air hujan (Maklum
rumah ayah dulu banyak rembesan air hujan dari genting; dalam bahasa Sunda: iris),
juga banyak yang dimakan rayap (semoga bukan fitnah; maaf ya rayap sahabatku).
Dulu tempat penyimpanan buku ayah tidak seperti orang-orang pecinta buku
umumnya yang memiliki ruang baca khusus untuk menyimpan bukunya, ayahku
menyimpan buku di langit-langit rumah yang berupa atap bambu (bilik).
3. Kakakku
Karyawan Pabrik Biasa, Tapi Semangat Berkorban
4. Cita-Citaku
Tinggi, Kini Menuju Kepasrahan
5. Aku Baru
Sadar Bahwa Aku Ini Tidak Hemat
6. Aku
Menduga bahwa Aku Masih Jauh dari Kerja Keras
7. Khawatir
Termasuk Panjang Angan-Angan
Kata kunci:
Sabar, ikhtiar, peran ibu dalam pendidikan anak, peran kakak dalam pendidikan adik, kisah inspiratif, cerita motivasi, buku motivasi, e-book motivasi, kiat sukses kuliah
Kata kunci:
Sabar, ikhtiar, peran ibu dalam pendidikan anak, peran kakak dalam pendidikan adik, kisah inspiratif, cerita motivasi, buku motivasi, e-book motivasi, kiat sukses kuliah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar