1. Apakah kancah perpolitikan di Indonesia ini seperti sinetron belaka?
Jargon: membela rakyat, mewakili rakyat, mencerdaskan rakyat, apakah semuanya hanya permainan saja?
Kalau jawabannya Ya, maka biarkanlah rakyat tidak terlibat di dalamnya, biarkanlah rakyat tidak ikut pemilu karena mereka telah lama menderita karena pemimpin yang dipilihnya.
Kalau jawabannya bukan sinetron, saya jadi bingung, karena rakyat yang sudah ikut pemilu masih dalam kemelaratan, sementara para pemimpinnya duduk di gedung-gedung mewah. Ini sangat miris!
2. Apakah orang-orang yang berlabel ulama itu hanya acting belaka?
Dalil tentang Islam rahmat bagi seluruh alam sering didengung-dengungkan, tapi kenapa “ulama” masih sempat membangun rumah mewah dan membeli kendaraan mewah, sedangkan umat masih berada dalam kemiskinan? Saya yakin, ini bukan ajaran yang benar. Karena Rasulullah, jangankan rumah yang mewah, baju saja terkesan sangat super sederhana sekali.
Mengapa mereka malah mendukung pembangunan mesjid-mesjid mewah, sementara calon penghuni mesjidnya tidak diperhatikan oleh sebagian kalangan. Keterkaitan “hati Islami” sudah seharusnya terbangun antara negara-negara Islam dengan umat Islam di negara-negara lain, bukan penindasan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang terjadi.
Untuk beberapa tahun ke depan, saya pikir syarat ulama atau pemimpin yang mengibarkan panji-panji Islam sudah saatnya mereka menjabat dengan mempersiapkan dirinya jatuh dalam kemiskinan, karena semua hartanya diberikan kepada rakyat negeri ini yang masih banyak menderita. Urungkanlah mengenakan jubah dan sorban mewah, karena fakir miskin masih banyak yang tidak punya baju.
Sudah saatnya mengingatkan umat Islam yang berkemampuan bolak-balik menunaikan ibadah haji dan umrah, sementara saudara-saudaranya masih sangat miskin. Boleh jadi, pembatasan mereka berkunjung ke Mekkah menjadi salah satu solusi, karena dikhawatirkan Mekkah dijadikan mereka sebagai objek wisata untuk hura-hura dan berpamer diri, bukan tempat pendidikan rohani yang setelah kembalinya akan memberikan solusi untuk umat yang lain.
3. Apakah dosen/guru benar-benar ingin mengajar/mendidik mahasiswanya?
Saya teringat, bahwa saat ini pemerintah mengusulkan tugas akhir skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3) harus dapat dijadikan jurnal ilmiah. S1: jurnal lokal, S2: jurnal nasional, dan S3: jurnal internasional.
Di samping mendengar penolakan dari para aktivis pendidikan, saya jadi merenung: Kenapa itu harus seolah-olah dibebankan kepada mahasiswa, padahal kreativitas dosennya saja masih rendah, seperti masih banyak dosen yang tidak memperkenalkan karya tulisnya sebagai penunjang suatu matakuliah yang diajarkannya? Lebih dari itu, yang membuat saya khawatir adalah di negeri ini, belum tercipta komunikasi dosen dengan mahasiswa yang harmonis.
Harmonis di sini diartikan antara mahasiswa dan dosen harus saling membantu, saling pengertian, saling berkorban, saling memajukan, saling mensukseskan, saling memudahkan, dan saling memberikan solusi. Keharmonisan ini masih sangat jauh tercapai, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan dosen terlihat tidak berniat untuk mewujudkannya. Yang lebih parah lagi, mahasiswa tidak mau mengkritisinya, alih-alih mengoreksi, malah mereka (mahasiswa) dengan tanpa berpikir ulang mewariskan ketidak-harmonisan kehidupan kampus seperti itu ketika mereka diangkat jadi dosen. Mereka jual mahal berkomunikasi dengan mahasiswa, atas dalih pengalaman kuliahnya. Sungguh keterpurukan yang menggelikan! [Komarudin Tasdik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar