Dengan tidak mengurangi rasa hormat pada keilmuaan ulama yang sangat luas, saya punya pendapat bahwa sudah saat ulama bersiap diri “melepas” sorban dan “jubahnya” yang berganti-ganti. Kini saatnya bersiap diri ulama mengenakan pakaian compang-camping tapi berhati qur’ani, karena masih banyak fakir miskin yang belum punya baju, belum mendapatkan pendidikan, belum kesempatan seharga sorban dan jubah yang dikenakan.
Kebiasaan orang miskin berbaris meronta-ronta untuk menghormati ulama harus disudahi sampai di sini, sekarang saatnya para ulama berbaris meronta-ronta mendekati fakir miskin, tidak cukup di lidah saja.
Bangunan megah simbol kemegahan Islam seperti mesjid bukanlah jalan satu-satunya, karena membangun hati fakir miskin menjadi Islami itu jauh lebih megah dan hasilnya akan enak dipandang mata, serta enak juga dirasakannya.
Mari berhati-hati terhadap sifat egoisme di balik sorban dan jubah indah! Berganti-ganti keduanya bisa menimbulkan kesukaan diri untuk hidup mewah, tapi kadang-kadang kita kurang menyadari karena tertutup dengan dalih “pakaian taqwa”. Ulama jatuh miskin karena menolong umat itu sudah saatnya terjadi saat ini, tapi kalau ulama jatuh dalam pengangguran sudah saatnya dihapus sedini mungkin tanpa alasan apapun termasuk jangan bersembunyi diri di balik panji-panji kepesantrenan, padahal sebenarnya kemalasan sedang dipelihara dalam dirinya.
Tidak benar santri nganggur, juga tidak benar ulama menunggu belas kasihan masyarakat. Justru, ulama dan santri-lah yang ditunggu-tunggu masyarakat untuk melakukan langkah nyatanya dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar