Selasa, 22 Mei 2012

Tidak Semua Orang Bisa Berbisnis


15. Tidak Semua Orang Bisa Berbisnis
Banyak para wirausahawan, baik pebisnis tulen atau berperan ganda sebagai dosen dan motivator menyatakan bahwa setiap orang bisa jadi wirausahawan/pebisnis. Demikian juga yang pernah aku dengar ketika di bangku kuliah salah satu kampus. Saat itu aku mengiyakan dan aku bersemangat untuk membuktikannya.
Walaupun baru sedikit mencoba, lama-lama aku mengira bahwa aku ini bukan tipe pebisnis sejati, karena ketika hal-hal berbau bisnis aku lakoni, yang ada hanya berupa terimakasih dan terimakasih, karena aku tidak berani memberikan patokan harga jasa/barang aku jual, padahal aku sudah berkali-kali untuk memberanikannya. Hal ini diperkuat ketika menggantikan kakak berjualan di pasar, ketika kakak sedang belanja ke toko sebelah, kira-kira membutuhkan waktu 10 menit. Terlihat ketika para pembeli membeli dengan berutang, aku tak kuasa menolaknya, padahal aku sendiri yang sering menyarankan kepada kakak untuk tidak memberinya mengingat banyak pembeli yang berutang tidak mau membayar pada waktunya, bahkan ada yang cenderung melupakannya. Sebagai solusinya: “Jika ada yang pinjam maka berilah, tapi di dalam hati jangan berharap untuk dikembalikan. Jika ada yang berutang maka berilah, tapi di dalam hati jangan berharap untuk dibayarnya.”
Selain hal di atas, aku ini cenderung lamban dalam bertindak, bahkan mengingat harga-harga barang saja susah sekali dan tidak ada motivasi untuk mengingatnya, seringkali aku balik nanya kepada pembeli berapa harga yang dibelinya? Hal ini sedikit memperkuat bahwa aku bukan jiwa pebisnis.
Muncullah pemikiran:
Kalau kamu tidak bisa jadi pebisnis (businessman), jadilah pegawai yang baik. Jika kamu bisa jadi pebisnis, jadilah pelajar yang berpendidikan tinggi. Jika kamu tidak mampu kaya raya, maka jadilah orang miskin yang baik. Jika kamu tidak mampu menjadi orang miskin yang baik, jadilah orang miskin yang tak melupakan Tuhan.
Ketika membaca buku Rich Dad Poor Dad yang menggambarkan motivasi untuk menjadi kaya dari seorang ayah kaya dengan pekerjaannya sebagai pebisnis, awalnya aku berharap untuk mencontoh ayah kaya, karena ayah miskin yang digambarkan adalah seorang berpendidikan tinggi yang pendapatannya menunggu saat gajian, sehingga tampak jumlah uang yang diperoleh ayah miskin kalah telak oleh ayah kaya. Akan tetapi, setelah ditimbang-timbang, masa iya di dunia ini harus semua jadi pengusaha/businessman? Kalau semua jadi pengusaha, siapa yang mau jadi pekerjanya? Pertanyaan inilah yang menjadi kendali bahwa ketika seseorang sudah berusaha menjadi seorang pengusaha, tapi masih belum berhasil juga, maka jadilah pegawai yang baik yang dapat membantu managernya menuju kesuksesan bersama.
Kalau ingin kaya, fokuslah di dunia usaha. Walaupun anda tidak berhasil, tetap saja dunia akan mengenal anda berada di dunia wirausaha.
Kalau ingin “miskin”, fokuslah di dunia pendidikan. Walaupun anda tidak termasuk kategori jenius, tetap saja dunia akan mengenal anda berada di dunia pendidikan. Lebih ekstrimnya, dunia akan mengenal anda karena berbagai kegagalan yang pernah anda alami selama di bangku perkuliahan. Bukankah kegagalan juga akan menjadi ilmu bagi umat manusia di dunia ini? Toh, kita tidak perlu jawaban berhasil atau gagalnya, tapi yang diperlukan ikhtiar sebagai prosesnya.
Berbuatlah sekecil apapun dan fokuslah dalam satu hal, karena dunia akan merasakan kehadiran anda, walaupun seharga barang bekas, tapi tetap saja ada nilainya.
Janganlah menjadi pengangguran, tak ada yang diperbuat, tak ada yang dipikirkan karena dunia tidak akan mengenal siapa diri anda sebenarnya, bahkan boleh jadi yang ada hanya murka atas kemalasan anda.
Memang kita sadari bahwa hidup ini tidak perlu ingin dikenal oleh siapapun, karena ingin dikenali hanya akan membuat kita menderita. Tapi karena dunia ini mengandung unsur sebab-akibat, maka kata mengenal atau dikenal sudah lazim terjadi dalam suatu perbuatan seorang umat manusia.

Tidak ada komentar: