Jumat, 17 Februari 2012

Belum Dapat Jodoh

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ku tulis surat cinta ini dengan penuh kerinduan
Ku goreskan tinta ini untuk dirinya seorang
Paras manis, cantik, ayu, geulis, aduhai, laksana bidadari selalu menghiasi bayang-bayang hidup ini
Tak kuasa ku melepaskannya
Tapi dirinya selalu pergi ditelan hitamnya sang malam.

Begitulah sedikit ilustrasi hati seseorang yang menanti jodoh, tapi belum kunjung datang juga. Kemana…kemana…kemana..Kamaqala Ayu Tingting yang pernah menghiasai industri musik tanah air baru-baru ini.
Jodoh itu sangat dinantikan oleh para pemburu cinta. Bujang jomlo, bujang lapuk jadi gelar yang sangat ditakuti muda-mudi jaman sekarang. Mereka malu sama pak RW, kalau Band Wali menyanyikannya. Haa.haa.Silahkan diingat lagunya!
Aku sudah tidak muda lagi (gak berani bilang sudah tua), usiaku sudah mendekati kepala 3 (lagi-lagi gak mau dibilang sudah nenek-nenek, kakek-kakek), aku sudah berusaha ikut kontak jodoh, ikut biro jodoh, aku sudah berdoa sama sang ustadz, aku sudah tahajud, aku sudah shalat hajat, shalat istikharah, tapi aku masih juga sendiri sampai saat ini. Hatiku sepi, jantungku kaku, perasaan galau tak menentu, wajahku memerah menahan malu apabila tetangga dan teman bertanya, kapan mbak undangannya?
Itulah yang terjadi. Bahkan selain karena dirinya sendiri, kegalauan hati seseorang yang masih menjomlo diperparah pemahaman sesaat dari sang ustadz bahwa nikah itu sunah nabi, barang siapa yang tidak mengikuti sunah nabi, ia bukan umatku. Kalau sudah begini adanya, kasihan juga bagi para jomlo. Tapi tenang! Kita merenung sedikit di sini.
Jodoh itu Allah yang ngatur. Manusia hanya berusaha, tapi bukan harus menentukan hasilnya. Ketika menyikapi dakwah sang ustadz tadi, kita seringkali terbalut dengan nafsu. Dengan dalih sunah nabi, kita menyegerakan nikah, padahal belum mampu melakukannya. Masyarakat mengira sepertinya orang yang sudah mendapatkan jodoh itu lebih beruntung dibandingkan dengan yang belum. Ini tidak sepenuhnya benar. Karena banyak orang yang sudah menikah jadi menderita.
Ketika seorang perempuan/laki-laki belum nikah, dia dikhawatirkan berbuat maksiat, maka segeralah menikah. Tapi kita kurang cerdas mencermati bahwa sembarang nikah juga itu bisa berbahaya. Selain banyak yang indah di masa setelah nikah, banyak pula yang menderita setelah nikah. Suami tidak kerja, suami melakukan KDRT, suami lincah lagi. Bukankah status suami yang demikian tidak diharapkan oleh seorang isteri? Tidakkah seorang perempuan menyadari bahwa apabila demikian berarti dia sudah merugi. Parahnya, saya perhatikan ada perempuan yang berani berkorban kerja demi menikahi suami pengangguran. Sungguh miris. Itu bisa jadi solusi biologis bagi si isteri, tapi jangan sampai itu dilakukan karena takut menyandang gelar jomlo, padahal jomlo lebih baik daripada menyerahkan dirinya kepada suami yang tak jelas statusnya.
Ingat! Hukum nikah itu wajib bagi mereka yang sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin, dan takut berbuat zina. Berarti kalau pengangguran belum termasuk hukum wajib, bahkan bisa jadi haram, kalau tidak ada usaha untuk memperbaiki hidupnya agar mampu menafkahi keluarganya dan hanya menggantungkan diri dinafkahi isteri.
Bagaiamana kalau takut berbuat zina? Ya nikahlah, tapi harus diingat, nikah karena takut berbuat zina sementara belum mampu mencari nafkah berarti ini hanya penyelamatan diri daripada celaka, tentunya tidak berarti lebih baik dari yang jomlo.
Ada pernyataan: Nikah aja….. toh rizki akan mengikuti…! Ini tidak sepenuhnya terjadi. Toh kita dengan mata kepala sendiri sering menyaksikan, sepasang suatu keluarga tidak mampu mencari nafkah untuk keluarganya sendiri, seringkali kembali kepada orang tua untuk minta makan, seringkali kembali kapada orang tua untuk tinggal bersama orangtua karena belum mampu membuat rumah sendiri. Apakah fakta ini tidak cukup menjelaskan bahwa keluarga yang dibangun sembarangan akan menjadi penderitaan bagi orang lain. Keluarga anak tidak harmonis akan membuat hati orangtua sakit tercabik-cabik. Anak yang sudah berkeluaga meminta makan kepada orangtua, tidak termasuk merusak kebahagian orangtua kah? Memang sudah kewajiban orangtua untuk memelihara anaknya, tapi kita sebagai anak harus tahu diri dong. Masa enggak malu dari bayi hingga tua terus diurus sama orang tua. Ini jelas jomlo lebih meringankan beban orangtua, seharusnya, kalau manusia mencermatinya.
Hati-hati dalil Islam dijadikan pembungkus hawa nafsu. Kita ingat bahwa ada informasi tentang Imam Bukhari sebagai perawi Hadits tidak sempat menikah. Imam Hambali sebagai ulama besar di bidang Fiqih sejajar dengan Imam Syafei, Imam Malik, dan Imam Hanafi, beliau juga menikahnya di usia 40 tahun. Tidakkah kita ingat bahwa Nabi Muhammad menikah di usia 25 tahun itu disertai dengan pertimbangan matang untuk menjalaninya, yakni karena dakwah?
Jadi, kalau orang nikah di usia 25 tahun belum tentu sudah tuntas menunaikan sunah nabi, selama ia menikahnya hanya ingin dikaruniai anak, hanya karena mengikuti tradisi, sementara peran pernikahannya tidak ditujukan pada dakwah Islam. Ini harus dicatat dalam hati kita, karena seringkali terlupakan. Bagi yang mampu, menikahlah seperti nabi di usia 25 tahun, dan landasilah pernikahan itu karena Allah dan mencontoh nabi untuk menegakkan agama Allah, Islam yang telah Nabi Muhammad ajarkan. Yang jomlbo, jangan khawatir! Jomlo tidak dibenci Allah, tidak pula dijadikan calon neraka.
Sekian dulu pembahasan ini. Jangan bangga karena sudah nikah! Jangan merana karena masih menjomlo. Jodoh itu rahasia Allah. Tak baik seorang jomblo dirundung duka nestapa karena jodohnya tak kunjung datang, karena masih banyak ibadah lain yang bisa manusia lakukan.
Terimakasih
Saya Komarudin Tasdik
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar: