Jumat, 17 Februari 2012

ILMU ITU UNTUK ORANG MISKIN

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saat ini pendidikan semakin digembor-gemborkan. Mulai program wajib belajar sembilan tahun, dan juga mulai direncanakan wajib belajar 12 tahun. Kuliah sampai strata satu (S1) sudah banyak diikuti oleh masyarakat. Akan tetapi, sayang biaya kuliah tidak cukup dengan uang sedikit. Nasib si miskin masih saja tetap merasa kewalahan untuk dapat merasakan duduk di bangku kuliah.
Jerit hati orangtua tidak terelakkan, ketika anaknya ingin kuliah, tapi tidak punyak bekal untuk bayarannya. Sungguh malang nasib si miskin, miskin, miskin, begitulah nasib kita saat ini….!
Kan, ada beasiswa? Beasiswa itu untuk orang yang berprestasi, padahal yang ingin kuliah tidak hanya mereka yang cerdas, orang-orang dengan kecerdasan tidak masuk 10 besar boleh jadi mereka ingin merasakan kuliah juga. Bukan salah mereka tidak masuk 10 besar, boleh jadi mereka kesulitan ketika belajar di sekolah karena tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Orang hanya cerdas di bidang bahasa Arab dipaksakan harus lulus di bidang matematika, tentu tidak semua siswa dapat melakukannya.
Inilah saatnya kita merenungkan kembali bahwa “Ilmu itu untuk orang miskin”. Kenapa demikian? Karena, bukankah kalau ingin kaya harus dengan ilmu? Kalau ingin menundukkan bumi harus dengan ilmu? Kalau ingin menjelajahi langit harus dengan ilmu? Sukses dunia harus dengan ilmu? sukses akhirat harus dengan ilmu? Sungguh rugi apabila orang miskin tidak kebagian ilmu.
Orang sudah tinggi-tinggi kuliah ramai-ramai menjual mahal ilmunya dengan alasan “Aku juga dulu kuliah mengeluarkan berpuluh-puluh bahkan ratus juta uang, maka sudah pantas orang lain yang membutuhkan ilmuku membayar dengan harga mahal juga.” Seorang teknisi komputer memperbaiki komputer yang hanya membutuhkan waktu satu menit dengan biaya tidak lebih dari 1000 rupiah, memasang tarif ke konsumen ingin dibayar 100.000 rupiah. Ini hal biasa, karena kerjaannya mudah tapi ilmunya susah didapatkan. Itu prinsip yang sudah lazim bagi mereka, tapi saya sedikit berbeda dalam hal ini.
Saya pikir, ketika seseorang menghabiskan uang untuk kuliah sebesar 100 juta, misalnya. Kemudian ada yang membutuhkan bantuannya hanya cukup meluangkan waktu lima menit dan biaya kurang dari 5000, maka sangat tidak adil kalau kita menaripkan sampai 30.000. Kenapa? Bukankah dengan 10.000 saja kita sudah punya untung? Bukankah dengan 10.000 saja kita sudah bisa makan? Kalau cukup dengan 10.000 mengapa harus 30.000? Di sinilah sikap adil kita diuji.
Alasan umum: Memang pekerjaan itu mudah, tapi untuk mendapatkan ilmu tersebut seseorang harus mengerjakan bertumpuk-tumpuk tugas kuliah dan berjuta-juta biaya kuliah. Mengapa harus dihargakan murah jasa kita ini?
Ketika kita mengeluarkan uang berjuta-juta untuk kuliah, kita merasa sudah kehilangan uang tersebut. Inilah masalahnya. Mengeluarkan uang dari dompet sendiri, merasa uang tersebut milik aku seorang dengan alasan uang tersebut diperoleh dengan doa dan ikhtiar aku. Ini tidak terlalu tepat. Ketika menginginkan uang 10 juta, kemudian kita berikhtiar sekuat tenaga dan berdoa dengan khusyu, sehingga kita bisa memperoleh uang 10 juta tersebut. Mengapa kita merasa bahwa uang itu hanya hasil jerih payah kita sendiri? Padahal banyak orang fakir miskin juga berdoa dan berikhtiar, tapi mereka belum mendapatkannya. Jangan-jangan, uang yang kita peroleh adalah hasil jerih payah dan doa fakir miskin yang Allah amanahkan kepada kita, untuk kemudian kita salurkan kepada fakir miskin tadi.
Jadi harus ingat bahwa uang 10juta itu bukan hanya milik kita tapi milik orang miskin juga, tidak cukup hanya diganti dengan zakat dan shadaqah saja. Kalau kita hanya butuh 5 juta dari uang itu maka anggarkanlah sisanya untuk orang-orang miskin. Kalau kita memang sangat butuh semuanya, maka segera minta maaflah kepada si miskin dan segeralah bertaubat dan bersiap untuk menggantinya.
Pendek kata, uang 100 juta yang dikeluarkan dari dompet kita untuk kuliah, itu bukan berarti hanya pengeluaran kita, tapi boleh jadi kita meminjam uang tapi tanpa disadari dari orang-orang fakir. Bukankah Rasulullah saw mengajarkan kita untuk berbagi sup, walaupun dengan menambah airnya? Mengapa kita merasa tidak berdosa ketika mengeluarkan uang 100 juta dengan alasan pendidikan, padahal saudara-saudara kita jangankan sekolah, makanpun tiada. Mengapa kita tega-teganya setelah lulus kuliah, kemudian menjual mahal ilmu itu kepada mereka. Sungguh biadab diri ini, membiarkan si miskin dalam kepiluan yang berkepanjangan.
Siapa suruh milih miskin? Usaha dong! Mikir dong! Sungguh picik diri ini berkata demikian, bukankah kita bisa berusaha dengan sukses, kita bisa berpikir dengan cerdas semuanya karena kita diamanahkan oleh Allah. Mengapa kita tidak berusaha untuk menyampaikannya kepada saudara-saudara kita yang masih sering disebut bodoh dan miskin. Mengapa kita kita mengajak dan membujuk mereka untuk bergabung dan berusaha bersama-sama. Mereka tidak butuh cap miskin dari kita. Mereka tidak butuh cap bodoh dari kita, tapi mereka membutuhkan solusi untuk hidup yang lebih layak.
Mari kita kejar orang yang tidak mampu sekolah, untuk diberikan ilmu yang kita miliki. Jangan menunggu mereka, tapi yang berilmulah yang harus proaktif menghampiri dan menyampaikan ilmu kepada mereka, sebisa mungkin. Bukan hanya Si bodoh dan miskin yang harus mengejar Si cerdas dan Si Kaya? Tapi justru sebaliknyalah yang harus dilakukan.
Ilmu dimahalkan karena urusan bisnis? Seorang teknisi dipanggil sebuah perusahaan untuk memperbaiki mesin. Sang teknisi tahu bahwa mesin itu cukup meng-onkan mesinnya saja sudah normal kembali. Mengapa dengan alasan bisnis, si teknisi bilang harus diperiksa ini dan itu, kemungkinan rusak ini dan itu, harus nunggu waktu berlama-lama? Katakan saja sejujurnya bahwa mesin itu masalahnya hanya tombol on/off saja. Kita tidak dapat bayaran besar, tapi kita dapat kepercayaan dari perusahaan itu. Boleh jadi pemilik perusahaan akan lebih menyayangi teknisi tersebut. Jauh dari itu, pemilik perusahaan akan terinspirasi untuk menyayangi  orang lain, misalnya menghargai teknisi-teknisi lain karena nama baik atas kejujurannya yang sudah tertanam di hatinya.
Perlu ditegaskan lagi bahwa: Orang cerdaslah yang harus mengejar orang bodoh, bukan hanya sebaliknya. Orang kayalah yang harus mengejar si miskin, bukan hanya sebaliknya. Kalau sudah demikian, maka akan tercipta suasana hidup bermasyarakat yang harmonis. InsyaAllah!
Sekian renungan kita kali ini. Mohon maaf atas segala kesalahan.
Terimakasih
Saya Komarudin Tasdik
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar: